Jumat, 18 September 2015

The Secret Between Us // Part 1 : Tuhan, aku mohon jangan!!



Hangkuk National School
07.00 A.M, KST

Taehyun kembali melirik bangku kosong dibelakangnya. Gadis itu masih belum datang. Ia merogoh saku celananya dan menyalakan ponsel yang kini ada dalam genggamannya. Tidak ada pemberitahuan pesan baru ataupun panggilan tak terjawab.

Taehyun menghelan nafas pelan, lalu menekan beberapa nomor yang sudah ia hafal diluar kepala dan melakukan panggilan ke nomor tersebut. Beberapa saat berlalu diisi dengan nada tunggu dan seperti sebelumnya, jawaban dari operatorlah yang ia dapat.

Gadis itu memang menyebalkan. Selalu saja membuat emosinya jungkir balik bahkan dipagi hari. Taehyun merasa dadanya sakit karna menahan kesal bercampur khawatir. Kesal karena gadis itu selalu memperlakukannya seperti ini, dan khawatir dengan pikiran-pikiran bodoh kalau mungkin hal yang buruk terjadi pada gadis itu.

Tenggelam dalam lamunannya, sebuah suara ketukan yang berasal dari ruas jari-jari seseorang yang beradu dengan meja miliknya berhasil menarik kembali kesadaran Taehyun.
Saat Taehyun mendongak untuk melihat si empunya tangan, seorang laki-laki yang selalu berhasil membuat sirine kewaspadaan dialam bawah sadarnya menyalalah yang ia temukan. Dia adalah ketua kelasnya, Donghyun. Lee Donghyun.

Taehyun memasang wajah dingin dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, melupakan untuk sementara perasaan yang mengganggu-nya sepanjang pagi dan memberikan perhatian penuh pada orang yang sekarang ini membuatnya merasa lebih terganggu. “What can I do for you, Mr. Lee?” tanya Taehyun dengan nada yang jelas menyebalkan.

Donghyun memasukkan salah satu tangannya kedalam saku celana, berdiri dengan angkuh dan menunjukan ekspresi acuh yang entah kenapa justru membuatnya terlihat keren—bahkan dari sudut pandang Taehyun sebagai seorang laki-laki. “Dimana dia?” tanya Donghyun, sambil mengangkat dagu menunjuk bangku kosong di belakang Taehyun.

Kenyataannya, laki-laki itu memang selalu berhasil membuat sirine Taehyun berbunyi dengan semua yang ia lakukan dan katakan.

Jujur saja, saat ini ia merasa sedikit kesal. Setiap ada sesuatu dengan gadis itu, dia adalah orang pertama yang akan ditanyai. Walaupun mengingat tentang hubungan mereka sekarang hal itu bisa dibilang wajar, tapi sebenarnya semua orang terlalu jauh dalam membayangkan hubungan mereka. Entah seberapa kerasnya Taehyun mencoba menjelaskan atau bersikap acuh, situasi yang seperti ini memang selalu berhasil membuatnya bungkam.

Beberapa saat Taehyun hanya terdiam dan memandang Donghyun dengan ekspresi yang ia sendiri tidak bisa bayangkan akan tampak seperti apa di wajahnya. Ia mencoba berpikir jawaban apa yang akan ia berikan untuk laki-laki menyebalkan ini.

Dan belum sempat ia menjawab, suara riuh dari beberapa teman sekelasnya berhasil membuyarkan lamunannya.

“Wah, bukankah dia Lee Chae Rin?” tanya seorang murid laki-laki dengan nada kagum bercampur tak percaya yang jelas dalam suaranya.

“Dia cantik sekali!” seru suara yang lain.
 
“Tapi apa yang dia lakukan disini?” sahut suara lain lagi.

Dan suara riuh lain semakin keras terdengar mengiringi langkah seorang gadis cantik yang sekarang sedang berjalan ke arah Taehyun.

Dia adalah Lee Chae Rin. Seorang model yang tidak perlu diragukan lagi ketenarannya di dunia modeling Korea. Dia resmi memulai debut sebagai model sejak kelas 2 SMP dan sampai sekarang wajahnya masih terus menghiasi sampul majalah-majalah kenamaan Korea.

Jika ditanya gadis seperti apa dia, maka bisa Taehyun katakan kalau dia adalah gadis yang mengagumkan. Dia memiliki semua hal yang diinginkan seorang wanita. Wajah cantik, kulit putih bersih, tubuh yang indah dan otak yang cerdas. Tapi dibalik semua itu, dia sebenarnya gadis yang sedikit...

“Yak, Yoon Taehyun!” teriak Chae Rin saat berhenti tepat didepan bangku Taehyun.

Kasar, tambah Taehyun dalam hati.

Ya, dia gadis yang sedikit kasar. Dia selalu saja berteriak pada Taehyun. Memangnya ia tuli sampai harus bicara dengan frekuensi setinggi itu saat mereka berkomunikasi? Menyebalkan! Gerutu Taehyun dalam hati.

Wae?” tanya Taehyun.

Chae Rin tidak langsung menjawab pertanyaan Taehyun. Gadis itu malah memandang lekat-lekat Donghyun yang kini berdiri disampingnya. “Kau ada perlu dengan Taehyun?” tanya Chae Rin pada Donghyun, dengan nada kesal yang jelas.

“Oh?” pekik Donghyun terkejut.

“Aku ada perlu dengannya, kau bisa pergi? Kau membuatku tidak nyaman.”

Benar-benar Lee Chae Rin. Kasar dan menyebalkan. Pikir Taehyun.

Donghyun berdehem canggung, menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kikuk, “Kita bicara lagi nanti.” Ujarnya pada Taehyun, lalu berjalan meninggalkan mereka.

“Dimana Kyuna?” tanya Chae Rin tiba-tiba. Dari ekspresi wajahnya, Taehyun merasa kalau ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi.. apa?

Taehyun tetap memasang wajah dingin untuk menyembunyikan pertanyaan di benaknya. Ia mengangkat dagu menunjuk bangku kosong dibelakangnya. “Kau tidak lihat bangkunya kosong?” Taehyun balik bertanya dengan nada yang menyebalkan.

Chae Rin menghelan nafas kasar dan memutar bola matanya, “Aku tahu itu, bodoh. Makanya aku bertanya padamu.” Katanya geram.

Taehyun mengangkat bahu acuh, “Entahlah.”

“Wah, kau ini benar-benar mengagumkan Yoon Taehyun!” seru Chae Rin keheranan. “Bagaimana kau bisa tidak tahu kemana perginya pacarmu. Aku benar-benar tidak bisa percaya ini.”

“Aku bukan babysitter-nya.” Balas Taehyun enteng.

Daebak!” Chae rin kembali berseru tidak percaya. “Kau ini laki-laki macam apa sebenarnya? Wah, melihat sikapmu yang setenang ini, aku bisa menebak kau tidak tahu apa yang sedang dilakukan pacarmu sekarang.” Tebak Chae Rin, yang sialan benar.

Melihat bagaimana cara Chae Rin berujar, tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas dibenaknya. Dan pertanyaan itu begitu saja meluncur dari bibirnya tanpa ia sadari, “Apa ini ada hubungannya dengan Jimin?” tanya Taehyun dengan polosnya.

“YAK! MENURUTMU AKU AKAN MENANYAKAN DIMANA PACARMU KALAU TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN PACARKU, HAH? DASAR KAU LAKI-LAKI TIDAK PUNYA OTAK!” teriakan memekakkan telinga lolos dengan lancarnya dari bibir Chae Rin dan berhasil membuat seisi ruang kelas Taehyun memandang mereka dalam diam.

“Dimana mereka?” sergah Taehyun.

“BUSAN!! MEREKA KE BUSAN!!”

“Mwo? Sialan kau, Jung Jimin!” Taehyun mengutuk.

Chae Rin kembali menghelan nafas entah untuk yang keberapa kalinya, “Sumpahi saja pacarmu sendiri. Yak, bisa kau jaga pacarmu dengan baik? Kalau sampai aku dibuang Jimin karna dia, kupastikan dia akan menyesal telah membuat masalah denganku. Arra?!”

҉    ҉    ҉



On the way to Busan
06.55 A.M, KST

Matahari akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Mata Kyuna yang sejak tadi tertutup—walaupun ia tidak tidur—kini perlahan mulai terbuka. Dari kaca mobil yang tertutup, dibalik rumah-rumah penduduk yang ada disepanjang jalan yang ia lewati, cahaya orange kemerahan matahari tampak semakin jelas dan membentuk sebuah lukisan indah dibenak Kyuna.

Kyuna menarik jaketnya semakin erat memeluk tubuhnya, dan menempel-kan kepala pada kaca pintu mobil.

“Kau sudah bangun?” tanya seorang laki-laki yang duduk dibalik kursi kemudi.

Walaupun Kyuna tidak melihat ekspresi wajah laki-laki itu, tapi dari suaranya Kyuna bisa menebak kalau laki-laki itu kini pasti sedang menunjukan senyum ramahnya, yang selalu sukses membuat semua gadis terpesona—kecuali Kyuna.

“Aku tidak tidur.” Jawab Kyuna acuh, masih memandang keluar jendela mobil.

Wae? Kau mengkhawatirkan sesuatu?”

“Jangan banyak bertanya. Konsentrasi saja menyetir.” Kata Kyuna dingin, dan menarik lebih erat jaket yang ia kenakan.

“Bagaimana bisa kau sekasar itu padaku setelah apa yang aku lakukan untukmu?” tanya Jimin menggoda, dengan ekspresi seolah ia dikhianati.

Belum sempat Kyuna membalas godaan yang laki-laki itu katakan, ponsel miliknya tiba-tiba berdering. Ia merogoh saku jaketnya dan sebuah nama tampak dilayar ponselnya. Yoon Taehyun.

Kyuna terdiam sambil memandang layar ponselnya yang masih berdering. Ini bukan yang pertama kalinya di pagi ini dan pasti akan terus berlanjut sepanjang hari.

Kyuna tahu kalau apa yang ia lakukan saat ini akan membuat situasinya semakin sulit, tapi ia memutuskan untuk tidak memikirkannya. Ia tidak akan memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan hanya menghadapi risiko dari keputusan yang ia ambil. Lagi pula ia tidak akan menghadapi semuanya sendiri. Masih ada laki-laki yang kini bersamanya, Jung Jimin. Ya, ia masih memiliki Jimin.

“Ponselmu sudah berdering sejak tadi.” Kata Jimin memberi tahu.

Kyuna hanya terdiam, tidak menanggapi apa yang Jimin katakan.

“Telfon dari Taehyun?” tanya Jimin, yang sebenarnya lebih mirip menebak.

Sekali lagi Kyuna tidak menjawab pertanyaan Jimin. Ia hanya membiarkan ponsel di genggamannya berdering, dan saat telfon terputus ia mematikan ponselnya lalu kembali memasukkannya kedalam saku jaket.

“Kenapa tidak kau angkat?” tanya Jimin sekali lagi.

Kyuna masih bungkam, mengacuhkan bertubi-tubi pertanyaan dari Jimin dan kembali menempelkan kepalanya ke jendela mobil.

“Kau tidak memberitahunya, ya?” Jimin masih tidak menyerah dengan pertanyaannya, dan kembali menebak.

Dia laki-laki yang tidak bisa diam, batin Kyuna. Ia tahu kalau laki-laki itu tidak dihentikan, dia akan terus bertanya sepanjang hari. Dan itu sangat menyebalkan.

Masih dengan memandang keluar jendela, Kyuna balik bertanya. “Apa kau memberitahu Chae Rin kalau kau pergi denganku?”

“Tidak.” Jawab Jimin cepat. 

Sebenarnya Kyuna sudah tahu jawaban itu. Jimin tidak akan memberitahu Chae Rin kalau mereka pergi bersama, seperti ia tidak memberitahu Taehyun.

Kyuna mengalihkan pandangannya pada Jimin, dan memandang dengan ekpresi datar. “Kau mau aku bertanya alasannya?”

“Mwo?” pekik Jimin. Berbeda dari ekspresi tenangnya saat menggoda Kyuna, kini Jimin membelalakan matanya dan ekspresi terkejut jelas tampak diwajahnya.

Dari reaksinya saja Kyuna bisa menebak kalau rencananya akan berhasil membuat laki-laki itu diam.

“Aku yakin kau tidak ingin aku bertanya.” Kata Kyuna percaya diri. “Jadi, bisa berhenti bertanya padaku?”

“Demi Tuhan, aku tidak akan bertanya.” Jimin bersumpah dengan wajah tegang yang memandang lurus ke depan.

Kyuna kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Saat Kyuna terdiam, Jimin juga tidak melanjutkan percakapan mereka lebih jauh. Ia sudah cukup mengenal gadis seperti apa Kyuna.

Gadis itu selalu menjadi lebih menyebalkan dari biasanya dan selalu menunjukkan tanda-tanda kecacatan setiap mereka melakukan perjalanan ke Busan. Entah itu tuli mendadak, atau bisu mendadak. Dan Jimin bukan orang kurang kerjaan yang akan menghabiskan tenaga untuk melakukan hal ia tahu tidak akan berguna.

Sebenarnya kebiasaan Kyuna yang seperti itu sudah muncul sejak tiga tahun yang lalu. Setiap tahunnya semakin memburuk dan Jimin tidak mau memaksa Kyuna untuk menghilangkan kebiasaannya menjadi penyandang cacat mendadak itu, karena ia tahu hal itu tidak akan semudah mengatakannya.

Jimin tahu karna hal itu juga tidak mudah untuknya. Setelah semua hal yang terjadi, Jimin baru bisa menata kembali hidupnya setelah satu tahun, sedangkan Kyuna yang sekarang masih sama seperti Kyuna tiga tahun yang lalu tiap kali mereka bepergian ke Busan.

“Menurutmu bagaimana ia akan bereaksi tentang kedatanganku?” tanya Kyuna tiba-tiba, yang berhasil membuyarkan lamunan Jimin.

“Hah?” pekik Jimin terkejut, hanya sebagai spontanitas karna tidak terlalu memperhatikan apa yang Kyuna tanyakan setelah benaknya melayang entah kemana.

“Apa dia mau bertemu denganku?” tanya Kyuna lagi. Suara Kyuna saat bertanya sangat berbeda. Kyuna yang sekarang sedang khawatir dan kehilangan kepercayaan dirinya, dan itu benar-benar bukan Kyuna yang biasanya.

Kyuna adalah gadis yang memiliki kepribadian yang kuat. Ia selalu memiliki sesuatu yang membuatnya lebih bersinar dibandingkan gadis lain. Dan saat dimana Kyuna kehilangan sinarnya hanya akan datang jika ia berurusan dengan satu orang.

Orang yang membuat Jimin dan Kyuna rela melakukan perjalanan selama tiga jam lebih dengan mobil, orang yang membuat Jimin dan Kyuna rela menanggung risiko apapun, dan juga orang yang membuat Jimin dan Kyuna rela mengingat kenangan menyakitkan dimasa lalu mereka yang dengan susah payah bisa mereka tinggalkan perlahan-lahan hanya karna merindukannya.

Kyuna mengalihkan pandangannya pada Jimin yang masih menyetir dalam diam. Ia memandang Jimin dengan mata sayu yang dipenuhi kekhawatiran dan wajah polos dengan alis berkerut tipis saat bertanya, “Jimin~a, menurutmu aku harus bagaiman nanti?”

Mendengar pertanyaan Kyuna, Jimin merasa kalau mungkin sebuah kesalahan besar mengajak Kyuna bertemu dengan orang itu. Kyuna tidak pernah bersikap seperti ini selama satu tahun terakhir.

Walaupun sulit, Jimin mencoba bersikap tenang. Ia mencoba menutupi pikiran-pikiran tidak jelas yang memenuhi benaknya dan tersenyum tipis. “Semuanya akan baik-baik saja, Kyuna~ya.” Kata Jimin memulai, mencoba menenangkan sebisa mungkin. “Tidak perlu berfikir harus seperti apa kau nanti. Jadilah Kim Kyuna yang biasanya. Aku yakin tidak akan ada hal buruk yang terjadi.”

Kyuna tidak mengatakan apapun. Ia hanya memandang Jimin dalam diamnya.

Jimin mencoba tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Percayalah padaku.” Katanya mencoba kembali meyakinkan. “Semuanya akan baik-baik saja.”

Kyuna masih tetap terdiam, tapi ekspresi kekhawatiran diwajahnya tampak berkurang dari sebelumnya. Perlahan sebuah senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya, lalu dengan sebuah anggukan pelan Kyuna menunjukkan pada Jimin kalau ia akan mempercayai apa yang Jimin katakan.

Jimin balas tersenyum saat melihat senyum tipis Kyuna. Saat Kyuna mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela, Jimin pun kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan di depannya, tapi dari ekor matanya ia masih bisa melihat semburat kekhawatiran di wajah Kyuna.

Ini tidak akan mudah, batin Jimin.

Saat mengajak Kyuna ke Busan, Jimin hanya memikirkan kalau ini mungkin akan sedikit meringankan beban Kyuna selama ini. Ia tahu seberapa berat beban, rasa bersalah dan seberapa menyesalnya Kyuna selama ini.

Dan sebagai orang yang juga mengalami masa sulit itu, Jimin merasa harus membantu Kyuna mengurangi sedikit bebannya. Mempertemukan Kyuna dengan orang itu adalah cara ia pikir bisa membantu, tapi sekarang ia tidak yakin lagi.

Entah kenapa, saat ini, dari pada memikirkan tentang mengurangi beban yang Kyuna rasakan, Jimin merasa kalau mungkin  ini malah akan menambah beban Kyuna.

Dan Demi Tuhan, jangan biarkan kekhawatiran yang tiba-tiba menyerang Jimin itu benar-benar terjadi. Karna jika itu terjadi, Jimin tidak akan tahu apa ia sanggup bertanggung jawab untuk hal itu.


To be continue...

2 komentar:

Unknown mengatakan...

good

Unknown mengatakan...

next :D

Posting Komentar