Hangkuk
National School
07.00 A.M, KST
Taehyun
kembali melirik bangku kosong dibelakangnya. Gadis itu masih belum datang. Ia
merogoh saku celananya dan menyalakan ponsel yang kini ada dalam genggamannya.
Tidak ada pemberitahuan pesan baru ataupun panggilan tak terjawab.
Taehyun
menghelan nafas pelan, lalu menekan beberapa nomor yang sudah ia hafal diluar
kepala dan melakukan panggilan ke nomor tersebut. Beberapa saat berlalu diisi
dengan nada tunggu dan seperti sebelumnya, jawaban dari operatorlah yang ia
dapat.
Gadis itu
memang menyebalkan. Selalu saja membuat emosinya jungkir balik bahkan dipagi
hari. Taehyun merasa dadanya sakit karna menahan kesal bercampur khawatir.
Kesal karena gadis itu selalu memperlakukannya seperti ini, dan khawatir dengan
pikiran-pikiran bodoh kalau mungkin hal yang buruk terjadi pada gadis itu.
Tenggelam
dalam lamunannya, sebuah suara ketukan yang berasal dari ruas jari-jari seseorang
yang beradu dengan meja miliknya berhasil menarik kembali kesadaran Taehyun.
Saat Taehyun
mendongak untuk melihat si empunya tangan, seorang laki-laki yang selalu
berhasil membuat sirine kewaspadaan dialam bawah sadarnya menyalalah yang ia
temukan. Dia adalah ketua kelasnya, Donghyun. Lee Donghyun.
Taehyun memasang wajah dingin dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, melupakan untuk sementara perasaan yang mengganggu-nya sepanjang pagi dan memberikan perhatian penuh pada orang yang sekarang ini membuatnya merasa lebih terganggu. “What can I do for you, Mr. Lee?” tanya Taehyun dengan nada yang jelas menyebalkan.
Taehyun memasang wajah dingin dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, melupakan untuk sementara perasaan yang mengganggu-nya sepanjang pagi dan memberikan perhatian penuh pada orang yang sekarang ini membuatnya merasa lebih terganggu. “What can I do for you, Mr. Lee?” tanya Taehyun dengan nada yang jelas menyebalkan.
Donghyun
memasukkan salah satu tangannya kedalam saku celana, berdiri dengan angkuh dan
menunjukan ekspresi acuh yang entah kenapa justru membuatnya terlihat keren—bahkan
dari sudut pandang Taehyun sebagai seorang laki-laki. “Dimana dia?” tanya
Donghyun, sambil mengangkat dagu menunjuk bangku kosong di belakang Taehyun.
Kenyataannya,
laki-laki itu memang selalu berhasil membuat sirine Taehyun berbunyi dengan
semua yang ia lakukan dan katakan.
Jujur saja,
saat ini ia merasa sedikit kesal. Setiap ada sesuatu dengan gadis itu, dia
adalah orang pertama yang akan ditanyai. Walaupun mengingat tentang hubungan
mereka sekarang hal itu bisa dibilang wajar, tapi sebenarnya semua orang terlalu
jauh dalam membayangkan hubungan mereka. Entah seberapa kerasnya Taehyun
mencoba menjelaskan atau bersikap acuh, situasi yang seperti ini memang selalu
berhasil membuatnya bungkam.
Beberapa saat
Taehyun hanya terdiam dan memandang Donghyun dengan ekspresi yang ia sendiri
tidak bisa bayangkan akan tampak seperti apa di wajahnya. Ia mencoba berpikir
jawaban apa yang akan ia berikan untuk laki-laki menyebalkan ini.
Dan belum
sempat ia menjawab, suara riuh dari beberapa teman sekelasnya berhasil
membuyarkan lamunannya.
“Wah, bukankah
dia Lee Chae Rin?” tanya seorang murid laki-laki dengan nada kagum bercampur
tak percaya yang jelas dalam suaranya.
“Dia cantik
sekali!” seru suara yang lain.
“Tapi apa yang
dia lakukan disini?” sahut suara lain lagi.
Dan suara riuh
lain semakin keras terdengar mengiringi langkah seorang gadis cantik yang
sekarang sedang berjalan ke arah Taehyun.
Dia adalah Lee
Chae Rin. Seorang model yang tidak perlu diragukan lagi ketenarannya di dunia
modeling Korea. Dia resmi memulai debut sebagai model sejak kelas 2 SMP dan
sampai sekarang wajahnya masih terus menghiasi sampul majalah-majalah kenamaan
Korea.
Jika ditanya
gadis seperti apa dia, maka bisa Taehyun katakan kalau dia adalah gadis yang
mengagumkan. Dia memiliki semua hal yang diinginkan seorang wanita. Wajah
cantik, kulit putih bersih, tubuh yang indah dan otak yang cerdas. Tapi dibalik
semua itu, dia sebenarnya gadis yang sedikit...
“Yak, Yoon
Taehyun!” teriak Chae Rin saat berhenti tepat didepan bangku Taehyun.
Kasar, tambah Taehyun
dalam hati.
Ya, dia gadis
yang sedikit kasar. Dia selalu saja
berteriak pada Taehyun. Memangnya ia tuli
sampai harus bicara dengan frekuensi setinggi itu saat mereka berkomunikasi?
Menyebalkan! Gerutu Taehyun dalam hati.
“Wae?” tanya Taehyun.
Chae Rin tidak
langsung menjawab pertanyaan Taehyun. Gadis itu malah memandang lekat-lekat
Donghyun yang kini berdiri disampingnya. “Kau ada perlu dengan Taehyun?” tanya
Chae Rin pada Donghyun, dengan nada kesal yang jelas.
“Oh?” pekik
Donghyun terkejut.
“Aku ada perlu
dengannya, kau bisa pergi? Kau membuatku tidak
nyaman.”
Benar-benar Lee Chae Rin. Kasar dan
menyebalkan. Pikir Taehyun.
Donghyun
berdehem canggung, menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kikuk, “Kita
bicara lagi nanti.” Ujarnya pada Taehyun, lalu berjalan meninggalkan mereka.
“Dimana
Kyuna?” tanya Chae Rin tiba-tiba. Dari ekspresi wajahnya, Taehyun merasa kalau
ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi.. apa?
Taehyun tetap
memasang wajah dingin untuk menyembunyikan pertanyaan di benaknya. Ia mengangkat
dagu menunjuk bangku kosong dibelakangnya. “Kau tidak lihat bangkunya kosong?” Taehyun
balik bertanya dengan nada yang menyebalkan.
Chae Rin
menghelan nafas kasar dan memutar bola matanya, “Aku tahu itu, bodoh. Makanya
aku bertanya padamu.” Katanya geram.
Taehyun
mengangkat bahu acuh, “Entahlah.”
“Wah, kau ini
benar-benar mengagumkan Yoon Taehyun!” seru Chae Rin keheranan. “Bagaimana kau
bisa tidak tahu kemana perginya pacarmu. Aku benar-benar tidak bisa percaya
ini.”
“Aku bukan babysitter-nya.” Balas Taehyun enteng.
“Daebak!” Chae rin kembali berseru tidak
percaya. “Kau ini laki-laki macam apa sebenarnya? Wah, melihat sikapmu yang
setenang ini, aku bisa menebak kau tidak tahu apa yang sedang dilakukan pacarmu
sekarang.” Tebak Chae Rin, yang sialan benar.
Melihat
bagaimana cara Chae Rin berujar, tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas
dibenaknya. Dan pertanyaan itu begitu saja meluncur dari bibirnya tanpa ia
sadari, “Apa ini ada hubungannya dengan Jimin?” tanya Taehyun
dengan polosnya.
“YAK! MENURUTMU
AKU AKAN MENANYAKAN DIMANA PACARMU KALAU TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN PACARKU,
HAH? DASAR KAU LAKI-LAKI TIDAK PUNYA OTAK!” teriakan memekakkan telinga lolos
dengan lancarnya dari bibir Chae Rin dan berhasil membuat seisi ruang kelas
Taehyun memandang mereka dalam diam.
“Dimana
mereka?” sergah Taehyun.
“BUSAN!!
MEREKA KE BUSAN!!”
“Mwo? Sialan kau,
Jung Jimin!” Taehyun mengutuk.
Chae Rin
kembali menghelan nafas entah untuk yang keberapa kalinya, “Sumpahi saja
pacarmu sendiri. Yak, bisa kau jaga pacarmu dengan baik? Kalau sampai aku
dibuang Jimin karna dia, kupastikan dia akan menyesal telah membuat masalah
denganku. Arra?!”
҉ ҉ ҉
On the way to
Busan
06.55 A.M, KST
Matahari
akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Mata Kyuna yang sejak tadi
tertutup—walaupun ia tidak tidur—kini perlahan mulai terbuka. Dari kaca mobil
yang tertutup, dibalik rumah-rumah penduduk yang ada disepanjang jalan yang ia
lewati, cahaya orange kemerahan matahari tampak semakin jelas dan membentuk
sebuah lukisan indah dibenak Kyuna.
Kyuna menarik
jaketnya semakin erat memeluk tubuhnya, dan menempel-kan kepala pada kaca pintu
mobil.
“Kau sudah
bangun?” tanya seorang laki-laki yang duduk dibalik kursi kemudi.
Walaupun Kyuna
tidak melihat ekspresi wajah laki-laki itu, tapi dari suaranya Kyuna bisa
menebak kalau laki-laki itu kini pasti sedang menunjukan senyum ramahnya, yang
selalu sukses membuat semua gadis terpesona—kecuali Kyuna.
“Aku tidak
tidur.” Jawab Kyuna acuh, masih memandang keluar jendela mobil.
“Wae? Kau mengkhawatirkan sesuatu?”
“Jangan banyak
bertanya. Konsentrasi saja menyetir.” Kata Kyuna dingin, dan menarik lebih erat
jaket yang ia kenakan.
“Bagaimana
bisa kau sekasar itu padaku setelah apa yang aku lakukan untukmu?” tanya Jimin
menggoda, dengan ekspresi seolah ia dikhianati.
Belum sempat
Kyuna membalas godaan yang laki-laki itu katakan, ponsel miliknya tiba-tiba
berdering. Ia merogoh saku jaketnya dan sebuah nama tampak dilayar ponselnya.
Yoon Taehyun.
Kyuna terdiam
sambil memandang layar ponselnya yang masih berdering. Ini bukan yang pertama
kalinya di pagi ini dan pasti akan terus berlanjut sepanjang hari.
Kyuna tahu
kalau apa yang ia lakukan saat ini akan membuat situasinya semakin sulit, tapi
ia memutuskan untuk tidak memikirkannya. Ia tidak akan memikirkan apa yang akan
terjadi selanjutnya dan hanya menghadapi risiko dari keputusan yang ia ambil.
Lagi pula ia tidak akan menghadapi semuanya sendiri. Masih ada laki-laki yang
kini bersamanya, Jung Jimin. Ya, ia masih memiliki Jimin.
“Ponselmu
sudah berdering sejak tadi.” Kata Jimin memberi tahu.
Kyuna hanya
terdiam, tidak menanggapi apa yang Jimin katakan.
“Telfon dari
Taehyun?” tanya Jimin, yang sebenarnya lebih mirip menebak.
Sekali lagi Kyuna
tidak menjawab pertanyaan Jimin. Ia hanya membiarkan ponsel di genggamannya
berdering, dan saat telfon terputus ia mematikan ponselnya lalu kembali
memasukkannya kedalam saku jaket.
“Kenapa tidak
kau angkat?” tanya Jimin sekali lagi.
Kyuna masih bungkam,
mengacuhkan bertubi-tubi pertanyaan dari Jimin dan kembali menempelkan
kepalanya ke jendela mobil.
“Kau tidak
memberitahunya, ya?” Jimin masih tidak menyerah dengan pertanyaannya, dan kembali
menebak.
Dia laki-laki yang tidak bisa diam, batin
Kyuna. Ia tahu kalau laki-laki itu tidak dihentikan, dia akan terus bertanya
sepanjang hari. Dan itu sangat menyebalkan.
Masih dengan
memandang keluar jendela, Kyuna balik bertanya. “Apa kau memberitahu Chae Rin
kalau kau pergi denganku?”
“Tidak.” Jawab
Jimin cepat.
Sebenarnya Kyuna
sudah tahu jawaban itu. Jimin tidak akan memberitahu Chae Rin kalau mereka
pergi bersama, seperti ia tidak memberitahu Taehyun.
Kyuna
mengalihkan pandangannya pada Jimin, dan memandang dengan ekpresi datar. “Kau
mau aku bertanya alasannya?”
“Mwo?” pekik
Jimin. Berbeda dari ekspresi tenangnya saat menggoda Kyuna, kini Jimin
membelalakan matanya dan ekspresi terkejut jelas tampak diwajahnya.
Dari reaksinya
saja Kyuna bisa menebak kalau rencananya akan berhasil membuat laki-laki itu
diam.
“Aku yakin kau
tidak ingin aku bertanya.” Kata Kyuna percaya diri. “Jadi, bisa berhenti
bertanya padaku?”
“Demi Tuhan,
aku tidak akan bertanya.” Jimin bersumpah dengan wajah tegang yang memandang
lurus ke depan.
Kyuna kembali mengalihkan pandangannya keluar
jendela. Saat Kyuna terdiam, Jimin juga tidak melanjutkan percakapan mereka
lebih jauh. Ia sudah cukup mengenal gadis seperti apa Kyuna.
Gadis itu selalu menjadi lebih menyebalkan dari
biasanya dan selalu menunjukkan tanda-tanda kecacatan setiap mereka melakukan
perjalanan ke Busan. Entah itu tuli mendadak, atau bisu mendadak. Dan Jimin
bukan orang kurang kerjaan yang akan menghabiskan tenaga untuk melakukan hal ia
tahu tidak akan berguna.
Sebenarnya kebiasaan Kyuna yang seperti itu
sudah muncul sejak tiga tahun yang lalu. Setiap tahunnya semakin memburuk dan
Jimin tidak mau memaksa Kyuna untuk menghilangkan kebiasaannya menjadi
penyandang cacat mendadak itu, karena ia tahu hal itu tidak akan semudah
mengatakannya.
Jimin tahu karna hal itu juga tidak mudah
untuknya. Setelah semua hal yang terjadi, Jimin baru bisa menata kembali
hidupnya setelah satu tahun, sedangkan Kyuna yang sekarang masih sama seperti
Kyuna tiga tahun yang lalu tiap kali mereka bepergian ke Busan.
“Menurutmu
bagaimana ia akan bereaksi tentang kedatanganku?” tanya Kyuna tiba-tiba, yang
berhasil membuyarkan lamunan Jimin.
“Hah?” pekik Jimin
terkejut, hanya sebagai spontanitas karna tidak terlalu memperhatikan apa yang
Kyuna tanyakan setelah benaknya melayang entah kemana.
“Apa dia mau
bertemu denganku?” tanya Kyuna lagi. Suara Kyuna saat bertanya sangat berbeda.
Kyuna yang sekarang sedang khawatir dan kehilangan kepercayaan dirinya, dan itu
benar-benar bukan Kyuna yang biasanya.
Kyuna adalah
gadis yang memiliki kepribadian yang kuat. Ia selalu memiliki sesuatu yang
membuatnya lebih bersinar dibandingkan gadis lain. Dan saat dimana Kyuna kehilangan
sinarnya hanya akan datang jika ia berurusan dengan satu orang.
Orang yang
membuat Jimin dan Kyuna rela melakukan perjalanan selama tiga jam lebih dengan
mobil, orang yang membuat Jimin dan Kyuna rela menanggung risiko apapun, dan
juga orang yang membuat Jimin dan Kyuna rela mengingat kenangan menyakitkan
dimasa lalu mereka yang dengan susah payah bisa mereka tinggalkan
perlahan-lahan hanya karna merindukannya.
Kyuna
mengalihkan pandangannya pada Jimin yang masih menyetir dalam diam. Ia
memandang Jimin dengan mata sayu yang dipenuhi kekhawatiran dan wajah polos
dengan alis berkerut tipis saat bertanya, “Jimin~a, menurutmu aku harus bagaiman nanti?”
Mendengar
pertanyaan Kyuna, Jimin merasa kalau mungkin sebuah kesalahan besar mengajak
Kyuna bertemu dengan orang itu. Kyuna tidak pernah bersikap seperti ini selama
satu tahun terakhir.
Walaupun
sulit, Jimin mencoba bersikap tenang. Ia mencoba menutupi pikiran-pikiran tidak
jelas yang memenuhi benaknya dan tersenyum tipis. “Semuanya akan baik-baik
saja, Kyuna~ya.” Kata Jimin memulai,
mencoba menenangkan sebisa mungkin. “Tidak perlu berfikir harus seperti apa kau
nanti. Jadilah Kim Kyuna yang biasanya. Aku yakin tidak akan ada hal buruk yang
terjadi.”
Kyuna tidak
mengatakan apapun. Ia hanya memandang Jimin dalam diamnya.
Jimin mencoba
tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Percayalah padaku.” Katanya mencoba
kembali meyakinkan. “Semuanya akan baik-baik saja.”
Kyuna masih
tetap terdiam, tapi ekspresi kekhawatiran diwajahnya tampak berkurang dari
sebelumnya. Perlahan sebuah senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya, lalu dengan
sebuah anggukan pelan Kyuna menunjukkan pada Jimin kalau ia akan mempercayai
apa yang Jimin katakan.
Jimin balas
tersenyum saat melihat senyum tipis Kyuna. Saat Kyuna mengalihkan pandangannya
kembali ke luar jendela, Jimin pun kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan
di depannya, tapi dari ekor matanya ia masih bisa melihat semburat kekhawatiran
di wajah Kyuna.
Ini tidak akan mudah,
batin Jimin.
Saat mengajak
Kyuna ke Busan, Jimin hanya memikirkan kalau ini mungkin akan sedikit
meringankan beban Kyuna selama ini. Ia tahu seberapa berat beban, rasa bersalah
dan seberapa menyesalnya Kyuna selama ini.
Dan sebagai
orang yang juga mengalami masa sulit itu, Jimin merasa harus membantu Kyuna
mengurangi sedikit bebannya. Mempertemukan Kyuna dengan orang itu adalah cara
ia pikir bisa membantu, tapi sekarang ia tidak yakin lagi.
Entah kenapa,
saat ini, dari pada memikirkan tentang mengurangi beban yang Kyuna rasakan,
Jimin merasa kalau mungkin ini malah
akan menambah beban Kyuna.
Dan Demi
Tuhan, jangan biarkan kekhawatiran yang tiba-tiba menyerang Jimin itu
benar-benar terjadi. Karna jika itu terjadi, Jimin tidak akan tahu apa ia
sanggup bertanggung jawab untuk hal itu.
To be continue...
2 komentar:
good
next :D
Posting Komentar