Minggu, 27 September 2015

Who Makes This Magic? // Part. 2 : “Saranghebwatdon gaseumirajiman.. Ibyolmankeumeun mudyojijiana..”


“Kau darimana, hyung?” tanya Donghae, dari balik punggung saat melihat Yesung di depan pintu dan berjalan gontai ke dapur. Ia meletakkan majalah yang tadi di bacanya. Donghae sebenarnya sudah tahu kemana Yesung pergi, tapi ia tetap bertanya. Seharian ini ia sama sekali belum bicara dengan hyung-nya.

Yesung tidak langsung menjawab. Ia melepas setelan jas hitam yang ia kenakan dan dasi yang serasa mencekik lehernya seharian ini, lalu meletakkannya di meja dapur.

“Pulang.” Jawab Yesung sambil membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Ia menengguk pelan, lalu meletakkannya di meja dapur—disamping setelan jasnya tergeletak—sebelum masuk ke kamarnya.

“Apa acaranya berjalan lancar?” tanya Donghae lagi, dan berhasil menghentikan langkah Yesung yang baru menapakkan kaki di anak tangga ke dua menuju kamarnya di lantai dua.

Yesung melirik dari balik punggungnya saat menjawab, “Sama seperti biasanya.” Jawabnya lemah.

“Lain kali biarkanlah aku ikut, hyung.” Pinta Donghae.
Yesung tidak menjawab, ia berbalik menghadap Donghae yang duduk di sofa merah, di ruang tamu asrama mereka yang bergaya minimalis, memandang tajam dan penuh peringatan padanya. “Aku tidak pergi untuk berlibur. Jadi kau tidak perlu ikut.” Ujarnya, terdengar tajam walaupun dengan suara rendah.

Donghae membalas tatapan tajam Yesung dengan mata sayu saat berkata, “Aku tahu, hyung, tapi ini sudah lima tahun.” Donghae mengeluh. “Kenapa kau justru menjadi lebih buruk?”

Yesung terdiam, melihat Donghae yang memandangnya dengan rasa kasihan dan kepedulian, tiba-tiba saja itu membuatnya merasa kesal, sebuah reaksi yang seharusnya tidak ia rasakan, tapi tetap saja ia tidak bisa mengendalikan kekesalannya. “Menurutmu kenapa?” tanyanya dengan nada menantang.

Donghae bangkit dari duduknya, “Kau sangat menyayanginya, aku tahu. Aku juga menyayanginya, tapi..”

Yesung buru-buru memotong, sebelum Donghae sempat melanjutkan kalimatnya, “Dia adikku!” Ujarnya setengah berteriak. “Apa salah kalau aku menyayanginya? Dia satu-satunya yang bisa mengerti aku, dia...”

Aku juga menyayanginya!” Donghae balas berteriak, memotong sebelum Yesung menyelesaikan kalimatnya.

Mereka saling memandang tajam. Yesung memandang tajam karna frustasi, Donghae memandang tajam karena putus asa, tapi Donghae segera sadar. Ia mencoba tenang, menarik nafas dalam-dalam, di saat seperti ini keadaan bisa jadi sangat buruk kalau mereka berdua terus menerus menuruti amarah mereka. Mungkin ini memang salahnya, ia tahu ini adalah topik yang sangat pribadi. Yesung sangat sensitif jika bicara tetang adiknya.

Ia mencoba tersenyum menenangkan saat berkata, “Aku sama denganmu, aku juga sangat menyayanginya. Dia satu-satunya gadis yang bisa mengerti aku, seperti dia mengerti dirimu, tapi dia pasti tidak ingin kita terus menerus bersedih karena ke pergiannya.” Donghae menjelaskan. Ia berjalan mendekati Yesung, meletakkan tangannya di pundak Yesung, dan memberikan tekanan pelan disana, walaupun saat ini Yesung masih memandangnya dengan kesal.

“Selama lima tahun ini aku bisa menerima perlakuanmu yang tidak adil padaku.” Kata Donghae memulai. “Kau melarangku menghadiri upacara pemakamannya. Kau juga tidak pernah mengajakku menghadiri acara peringatan kematiannya. Aku tahu kau melarangku untuk melindungiku, tapi sekarang aku sudah dewasa. Aku tidak apa-apa, aku punya kekuatan untuk menjaga diriku, dan aku juga punya kekuatan untuk menerima kenyataan kalau gadis yang aku cintai sudah meninggal, hyung. Jadi, berhentilah memperlakukanku seperti lima tahun yang lalu.” Kata Donghae dengan sabar.

Pandangan tajam Yesung mulai lenyap, kini ia terlihat begitu rapuh. Selama ini ia berpikir kalau akan lebih baik jika Donghae tidak terlibat dengan semua hal yang ada hubungannya dengan kepergian adiknya, tapi mungkin Donghae sudah menjadi seseorang laki-laki dewasa, mungkin yang Donghae katakan ada benarnya. Sekarang adalah waktunya untuk membiarkan Donghae berada di tempat seharusnya ia berada.

Donghae tampak menyadari perubahan sikap hyung-nya. Ia menarik tangannya dari pundak Yesung, lalu melangkah meninggalkan Yesung yang mematung, “Istirahatlah, hyung. Kau tampak sangat lelah.”

Perlahan-lahan Yesung berbalik, pandangannya mengikuti punggung Donghae yang mulai menjauh, “Donghae~ya?”

Donghae berhenti dan berbalik, “Oh?”

“Maafkan aku,” gumam Yesung menyesal. Ia merasa bersalah karna tidak pernah membiarkan Donghae mengikuti semua acara peringatan kematian adiknya, Joo Hwi.

“Untuk apa?”

“Semuanya.” Jawab Yesung dengan maksud tersirat.

Donghae tesenyum tipis, “Hanya dengan satu syarat.”

Yesung mengerutkan kening, “Syarat apa?”

“Berikan itu padaku, bisa?”



Soo Bin tersentak, terbangun dari mimpi buruknya.

“Kau mimpi buruk lagi, Soo Bin?” tanya sebuah suara dengan lembut.

Soo Bin menengok ke sumber suara dan menemukan ibu Yoon Hee sedang membuka tirai jendela kamar Yoon Hee dirawat.

Matahari sudah terbit. Ia melihat jam tangannya, pukul 08.17 KST. Ia baru sadar kalau ia tidur dengan menggenggam tangan Yoon Hee. Ia melepas genggamannya, meletakkan kembali tangan Yoon Hee di depan dada, terlipat dengan rapi.

“Kau datang jam berapa?” tanya ibu Yoon Hee.

Soo Bin menggeliat pelan, “Entahlah.” Jawabnya sambil menguap. “Masih sangat pagi saat aku kemari.”

Ibu Yoon Hee tersenyum getir, mendekat ke ranjang Yoon Hee, di sisi seberang Soo Bin, membelai rambut putrinya dan memandangnya penuh kasih sayang, lalu mencium kening Yoon Hee lembut, “Selamat pagi, Yoon Hee.”

Soo Bin terharu melihat kasih sayang ibu Hwang yang begitu besar untuk sahabatnya itu. Ia sangat iri pada sahabatnya, bahkan dalam keadaan tak sadarkan diri, ia tetap dilimpahi kasih sayang oleh orang-orang disekitarnya.

Nyonya Yoon Hee mengalihkan pandangannya pada Soo Bin, “Ayo, sarapan!” ajak ibu Yoon Hee, melangkah menjauhi ranjang Yoon Hee, mendekati meja dari kaca yang di kelilingi sofa berwarna krem.

Soo Bin mengikuti ibu Yoon Hee yang duduk di sofa dan menuangkan bubur dari teremos yang tadi Soo Bin bawa, walaupun sekarang bubur itu sudah dingin. Ibu Yoon Hee menyodorkan mangkuk berisi bubur itu pada Soo Bin.

Soo Bin menggeleng, “Aku membawanya untuk Ibu.” Ujarnya menolak dengan lembut. “Walaupun sekarang sudah dingin.” Tambahnya terdengar menyesalkan, dengan senyum singkat di sudut bibirnya.

“Kau lebih membutuhkannya, Soo Bin. Kau butuh tenaga untuk ujianmu.” Ibu Yoon Hee kembali menyodorkannya pada Soo Bin.

Soo Bin menerimanya, lalu dengan sigap menarik tangan ibu Yoon Hee, membuka telapak tangannya dan meletakkan mangkuk itu di atas tangan ibu Yoon Hee. Dengan senyum tipis Soo Bin berkata, “Aku tidak akan ikut ujian itu.” Katanya memberi tahu.

Ibu Yoon Hee menghelan nafas pelan, meletakkan mangkok di atas meja dan menggenggam tangan Soo Bin dan meremasnya lembut, “Kau tahukan kalau Yoon Hee sangat menyayangimu?” tanyanya dengan lembut, menatap penuh kasih sayang, dan Soo Bin bisa merasakannya.

Itu adalah salah satu hal yang membuat Soo Bin begitu nyaman berlama-lama di rumah sakit, walaupun sebenarnya ia sangat benci dengan rumah sakit. Bersama dengan Yoon Hee dan ibunya, membuat Soo Bin seperti ada dirumahnya, bersama keluarga yang sebenarnya.

Walaupun Soo Bin bukan putrinya, tapi ibu Yoon Hee juga menyayanginya. Gadis itu telah menjadi sahabat baik untuk putrinya. Sahabat yang sangat baik.

Soo Bin mengangguk pelan. Ia tahu apa yang akan Ibu Yoon Hee katakan padanya. Beliau pasti akan membujuknya untuk mengikuti ujian masuk universitas itu.

“Apa yang kau lakukan sekarang, aku yakin bukanlah hal yang Yoon Hee ingin.” Ibu Yoon Hee memberi tahu. “Kau sudah menjadi sahabat yang sangat baik untuk Yoon Hee. Ibu sangat berterima kasih untuk itu. Kau tidak perlu merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Yoon Hee, Soo Bin~a. Ini semua adalah kehendak Tuhan, tidak ada hubungnnya denganmu.” Ibu Yoon Hee, mencoba meyakinkan.

“Aku tidak berfikir seperti itu. Aku tidak berada disini karna rasa bersalah, aku ada disini karna sahabatku membutuhkanku.” Elak Soo Bin. Selama setahun ini dia memang dihantui rasa bersalah atas apa yang terjadi pada Yoon Hee, tapi ia tetap tidak ingin mengakuinya. Dan lebih dari rasa bersalah, perasaan sayangnya pada Yoon Hee-lah yang membuat Soo Bin selalu setia menemani Yoon Hee di rumah sakit.

Ibu tahu itu, Soo Bin~a. Itu tahu. Tapi jika kau tetap seperti ini, kau hanya akan membuat ibu berfikir kalau kau berada disisi Yoon Hee karna rasa bersalah. Kau tinggal jauh dari keluargamu, kau tidak kuliah dan menghabiskan seluruh waktumu dirumah sakit untuk menemani Yoon Hee. Apa kau ingin aku berfikir kalau kebaikanmu terhadap Yoon Hee selama ini hanya karena rasa bersalah?”

Soo Bin menggeleng cepat, “Tentu saja tidak. Aku ada untuk Yoon Hee karena ia sahabatku.

Ibu Yoon Hee tersenyum tipis, “Aku sudah menganggapmu seperti putriku sendiri. Seperti halnya aku ingin yang terbaik untuk Yoon Hee, aku juga ingin yang terbaik untukmu, Soo Bin.”

Soo Bin hendak membantah, tapi ibu Yoon Hee tidak memberi kesempatan pada Soo Bin untuk melakukannya, “Melanjutkan hidup itu tidak berarti kau meninggalkan Yoon Hee. Kau tetap bersamanya, hanya saja cara dan waktunya yang berbeda.”

Soo Bin terdiam sejenak, tampak berpikir. Ia hanya memandang ibu Yoon Hee dengan mata sayunya. Lalu beberapa saat kemudian, dengan alir berkerut, Soo Bin bertanya, “Ibu yakin tidak apa-apa sendirian? Hari ini dokter akan memeriksa keadaan Yoon Hee, aku rasa ibu akan membutuhkanku di sini.”

Ibu Yoon Hee menggeleng pelan, “Aku akan baik-baik saja.” jawabnya. “Pergilah,” pintanya lembut.

Soo Bin tampak ragu sejanak, tapi kemudian ia mengangguk. Ibu Yoon Hee ikut berdiri saat Soo Bin berdiri. “Aku lakukan ini karna Ibu yang memintaku, juga karna aku yakin Yoon Hee juga menginginkannya.” Ujarnya memberi tahu.

“Aku tahu,” kata ibu Yoon Hee. “Kau harus bergegas. Kau mungkin akan terlambat kalau tidak segera berangkat.”

Soo Bin mengambil tas srempangnya, menyampirkannya ke bahunya lalu mendekat pada Yoon Hee, “Aku harap kau akan segera sadar agar kita bisa masuk univesitas bersama.” Bisik Soo Bin di sambil menggenggam tangan sahabatnya.

Soo Bin berjalan menuju pintu keluar di ikuti ibu Yoon Hee. Ia mengantar Soo Bin sampai depan pintu. Soo Bin hendak melangkah pergi setelah berpamitan pada ibu Yoon Hee, tapi kemudian ia berbalik dan tiba-tiba memeluk lembut ibu Yoon Hee.

Ibu Hwang membalas pelukkan Soo Bin dengan hangat dan membelai rambutnya yang lembut, “Eomma?” panggilnya.

Ya?”

“Apapun akan aku lakukan jika itu adalah hal yang ibu dan Yoon Hee inginkan.”
              


Soo Bin menyesap Vanilla Latte-nya sambil menunggu. Ia baru datang sepuluh menit yang lalu setelah menyelesaikan ujiannya masuk universitas di Seoul. Ia yakin ia akan lulus ujian itu, tapi ia tidak berfikir itu penting untuknya, ia tidak ingin kuliah. Setidaknya untuk sekarang.

“Sudah lama menunggu?” tanya seorang laki-laki dari balik punggung Soo Bin dan langsung duduk di kursi di depan Soo Bin.

“Aku baru datang.” Jawab Soo Bin datar.

Laki-laki itu memakai setelan jas rapi, ia melepas kancing jasnya saat duduk, lalu membanting tubuhnya ke sandaran kursi, “Tidak biasanya kau mengajakku bertemu, apa kau merindukkanku?” tanya laki-laki itu menggoda, dengan senyum santainya yang menawan.

Soo Bin memandangnya dingin, “Apa yang kau katakan pada ibu Yoon Hee?” tanyanya tanpa basa-basi.

Laki-laki itu memiringkan kepala lalu menyunging senyum yang menyebalkan, “Kau ingin bertemu dengan oppa-mu hanya untuk menanyakan hal itu?” tanyanya mencoba terdengar ramah. Walaupun sebenarnya ia menahan kekesalannya, yang bisa Soo Bin lihat dengan jelas. Laki-laki itu adalah kakak tirinya, Kim Jong Hyun.

Tapi siapa yang peduli apa yang dirasakan kakanya itu sekarang? Soo Bin sendiri juga sedang kesal saat ini.

“Kau memintanya mengusirku?” tanya Soo Bin dengan nada tajam, matanya memandang lurus pada oppa-nya.

Laki-laki itu mengangkat bahu tak berdaya, “Aku rasa tidak ada gunanya berbohong padamu, toh kau juga tidak akan percaya.” Katanya mengakui. “tapi bagaimana kau mengetahuinya? Aku yakin bukan ibu Yoon Hee memberi tahumu. Apa aku telah melakukan kesalahan lagi?” katanya heran.

Soo Bin terdiam sebentar, tidak berniat menjawab.

“Aku bertanya padamu, Kim Soo Bin.” Kata Jong Hyun tajam, seolah memberi perintah agar Soo Bin menjawab pertanyaannya.

“Bunga yang tadi padi aku ganti tidak selayu biasanya, tampak lebih segar dari biasanya. Pasti ada yang menggantinya sebelum aku.” Soo Bin memulai, “Aku juga tidak pernah membawa bunga tulip dengan pita ataupun kain pembungkus dengan warna selain biru, saat aku membuang sampah, aku melihat pita dan pembungkus bunga warna kuning. Kuning itu warna favoritmu.

Selagi Soo Bin menjelaskan, Jong Hyun menunjukan senyum tipis di sudut bibirnya. Siapapun tahu kalau itu senyum kepuasan.

Soo Bin masih melanjutkan penjelasannya, “Walaupun Yoon Hee tidak suka warna kuning kau sering sekali membelikannya barang-barang dengan warna kuning. Dan satu-satunya orang yang punya motif melakukannya, hanya kau, oppa.”

Senyum Jong Hyun di akhiri dengan tawa kecil, “Kau memang adikku yang pintar.” Katanya memunji. “Dengan cara berpikir seperti itu kau bisa menjadi seorang detektif ataupun jaksa penyidik.”

“Bukan aku yang pintar, kau yang ceroboh.” bantah Soo Bin.

“Baiklah, terserah apa katamu, Soo Bin.” Kata Jong Hyun tak mau terlalu mengambil pusing. “Aku dengar kau ikut ujian masuk universitas hari ini, bagaimana? Apa soalnya sulit?” tanyanya basa-basi.

Soo Bin mengacuhkan pertanyaan Jong Hyun dan balik bertanya, “Kenapa kau melakukannya oppa?”

Sikap ramah yang coba Jong Hyun tunjukkan jelas sudah menghilang saat ekpresi laki-laki itu berubah mengeras. “Menurutmu? Seharusnya kau sudah tahu. Apapun yang terjadi pada Yoon Hee bukanlah salahmu. Lagi pula ibu Yoon Hee juga tidak pernah menyalahkanmu untuk semua yang terjadi pada putrinya. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri dan lanjutkanlah hidupmu. Jangan terus menarik diri dari dunia luar. Jangan buang impian dan segala ambisimu.”

Soo Bin mendengu kasar. “Impian dan ambisi apa yang sedang kau bicarakan?” tanyanya dengan nada menghina yang kentara. “Aku tidak punya ambisi apapun. Aku berbeda denganmu, oppa. Kau adalah seorang yang terlalu ambisius. Semua orang tahu itu.”

Jonghyun balik mendengus. “Dulu kau sama ambisiuanya denganku, kau juga punya semangat untuk mencapai cita-citamu,” katanya mengingatkan. “Ah, tidak, aku salah. Kalian.. mungkin itu kata yang lebih tepat. Kalian berdua juga orang yang ambisius, tapi setelah kecelakaan itu semuanya berubah. Semua ambisimu hilang bersama ambisi Yoon Hee yang tidak sadarkan diri.”

Kenapa aku merasa kalau kau sedang menyalahkan Yoon Hee. Tanya Soo Bin dengan rahang yang mengeras menahan kekesalannya.

Aku memang menyalahkannya.” Jawab Jonghyun jujur, tak acuh, juga menyebalkan.

Soo Bin tercengang untuk satu dua detik, lalu menghelan nafas kasar. “Kau sadar apa yang baru saja kau katakan, oppa?” tanyanya tak percaya.

“Ya.”

“Dia itu Yoon Hee! pekik Soo Bin.

“Lalu?”

“Dia Yoon Hee! Hwang Yoon Hee!ulang Soo Bin setengah berteriak.

“Memang kenapa?” tanya Jong Hyun dengan ekspresi data, tapi cukup menakutkan dan luar biasa membuat Soo Bin kesal. Dia hanya seseorang yang kebetulan menjadi sahabatmu.” Tambah Jong Hyun enteng.

“OPPA!” Soo Bin benar-benar berteriak saat mengucapkannya. Dan berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung cafe.

Jonghyun menatap tajam langsung ke dalam mata Soo Bin, “Jika kau masih bersikeras ingin berdebat denganku tentang ini,  kau pasti tahu apa risikonya.” Kata Jong Hyun yang jelas mengancam.

Soo Bin kini terdiam. Bibirnya mengatup rapat menahan amarah. Ia tidak bisa melakukan apapun jika Jong Hyun sudah mengunakan kata ‘risiko’ dalam perdebatan mereka. Ia tahu risiko apa yang Jong Hyun maksud.

“Aku menginkan permintaan maaf.” Kata Jong Hyun.

Soo Bin masih terdiam.

“Kau tidak mendengarku?”

Soo Bin segera sadar, ia mencoba menenangkan dirinya, pandangannya perlahan melemah, “Maaf,” gumamnya masih dengan sedikit kekesalan yang tersisa.

Jonghyun tersenyum tipis, ekspresi kesalnya juga perlahan menghilan. “Itu baru adikku yang baik dan penurut.” Ujarnya dengan keangkuhan dalam suaranya.

Jonghyun berdiri dari kursinya, mengancingkan jasnya. “Kapan kau akan kembali ke rumah? Kampusmu akan lebih dekat dengan rumah kita dari pada apartement-mu saat ini.”

“Entahlah, aku belum berpikir tentang itu.”

Pikirkanlah mulai sekarang.” Perintah Jonghyun. “Segera hubungi aku kalau kau sudah menentukan waktunya, aku akan siapkan semuanya. Sekarang oppa harus pergi dulu.”

Jonghyun sudah melewati Soo Bin saat ia memanggil oppa-nya. Jonghyun menghentikan langkahnya, mereka saling memunggungi. “Apa kau sudah tidak memiliki perasaan apapun pada Yoon Hee?”

Jonghyun terdiam sejenak, lalu menjawab, “Cinta tidak pernah di ijinkan dalam hidupku.”

 


Soo Bin melangkah gontai saat memasuki apertement-nya. Keadaan apartement masih gelap saat Soo Bin masuk. Ia melepas sepatunya di belakang pintu, berganti sandal bulu miliknya, lalu merabah dinding di sampinnya dan menyalakan lampu.

Ia melempar tasnya ke sofa di ruang tamu apartement-nya yang memiliki desain minimalis, seperti kebanyakkan rumah dan apartement di Korea. Ia berjalan langsung ke dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral, meminumnya, lalu langsung masuk ke kamarnya.

Soo Bin duduk di tepi ranjangnya, memandang sebuah gambar yang terbingkai dengan indah dan di gantung pada dinding yang menghadap langsung ke ranjangnya.

Gambar seorang laki-laki tampan yang tersenyum. Laki- laki yang menjadi idolnya, Park Donghae. Gambar itu adalah lukisan yang di buat Yoon Hee. Sesuatu yang Soo Bin sangat ingin miliki, tapi tidak pernah bisa ia miliki, karena ia tidak perna punya cukup kemampuan untuk membuatnya, dan akhirnya ia mendapatkan dari Yoon Hee sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-18, setahun yang lalu.

Setiap melihat gambar itu, Soo Bin selalu teringat pada kecelakaan Yoon Hee. Saat itu lukisan Donghae terkena darah segar Yoon Hee, dan sampai saat ini pun masih ada bekas darah yang tertinggal di senyum itu.

Soo Bin tiba-tiba berkaca-kaca. Reaksi yang sama setiap kali ia mengingat kecelakaan Yoon Hee. Soo Bin mencoba menahan air matanya. Hari ini terlalu melelahkan, dan akan lebih melelahkan lagi jika ia harus menangis.

Soo Bin merebahkan tubuhnya. Menutup matanya yang basah dengan lengannya.

“Sampai kapan kau mau terus tak sadar?” gumam Soo Bin, yang masih teringat pada Yoon Hee.

Beberapa menit kemudian, Soo Bin berbaring masih dengan mata yang basah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi,

“Saranghebwatdon gaseumirajiman.. Ibyolmankeumeun mudyojijiana..”

Dengan cepat ia bangkit, bukan karena telefon itu, tapi karna hal lain.

Lagu itu.

Ia hanya tidak mau mendengar lagu itu berbunyi terlalu lama. Saat ia mengeluarkan ponselnya dari saku, ternyata bukan telfon yang membuat ponselnya bergetar dan berbunyi.

Sebuah pesan.

Soo Bin membukanya,

From : Ji Kyung-ssi
15 Agustus 2015 20:18
Kapan kau akan pulang? Kalau sudah selesai berkemas, beri tahu ibu, akan ibu buatkan makanan kesukaanmu untuk merayakaan kepulanganmu.

Soo Bin melempar ponselnya ke belakang, hingga ponselnya jatuh ke atas bantal. Ia kembali merebahkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian ponselnya berbunyi. Dengan malas ia meraba bantal dan melihat layar poselnya, Ji Kyung-ssi.

Soo Bin tampak termenung menatap ponselnya lekat-lekat. Seolah baru menyadari suatu hal, ia kemudian terperanjat dan memandangi ponselnya yang masih berdering.

Babo.” Gerutunya.

Soo Bin mematikan telfon dari ibu tirinya dan menekan sejumlah nomor, lalu menelfon seseorang. Ia memikirkan sebuah cara. Cara yang ia piker mungkin bisa membantu Yoon Hee sadar.

“Ji Young-a..” sergahnya begitu telfon tersambung.

Ada apa, Soo Bin?terdengar suara tanya seorang laki-laki di seberang dengan penuh semangat.

Ia adalah Ji Young. Sahabat Soo Bin yang lain.

Kau merindukanku?” tanyanya menggoda, dan diakhiri dengan suara tawa yang lolos dari kerongannya.

Soo Bin tidak menanggapi godaan Ji Young, atau mungkin ia memang tidak mendengarnya karna terlalu bersemangat dengan ide bodoh yang tiba-tiba muncul di otaknya. “Aku ingin meminta bantuanmu.”


To be continue...

0 komentar:

Posting Komentar