“Kau darimana, hyung?” tanya
Donghae, dari balik punggung saat melihat Yesung di depan pintu
dan berjalan gontai ke dapur. Ia meletakkan majalah yang tadi di
bacanya. Donghae sebenarnya sudah
tahu kemana
Yesung pergi, tapi ia
tetap bertanya. Seharian ini ia sama sekali belum bicara dengan hyung-nya.
Yesung tidak langsung menjawab.
Ia melepas setelan
jas hitam yang ia kenakan dan dasi yang serasa mencekik
lehernya seharian ini, lalu meletakkannya di meja dapur.
“Pulang.” Jawab Yesung sambil
membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Ia menengguk
pelan, lalu meletakkannya di meja dapur—disamping setelan jasnya tergeletak—sebelum masuk ke kamarnya.
“Apa
acaranya berjalan lancar?” tanya Donghae lagi, dan berhasil menghentikan
langkah Yesung yang baru menapakkan kaki di anak tangga ke dua menuju kamarnya
di lantai dua.
Yesung melirik dari balik
punggungnya saat menjawab, “Sama seperti biasanya.” Jawabnya lemah.
Yesung tidak menjawab, ia berbalik
menghadap Donghae yang duduk di sofa merah, di
ruang tamu asrama mereka yang bergaya minimalis, memandang tajam dan penuh peringatan padanya. “Aku tidak pergi untuk berlibur. Jadi kau tidak perlu ikut.” Ujarnya, terdengar
tajam walaupun dengan suara rendah.
Donghae membalas tatapan tajam
Yesung dengan mata sayu saat berkata, “Aku tahu, hyung, tapi ini sudah lima tahun.”
Donghae mengeluh. “Kenapa kau justru menjadi lebih buruk?”
Yesung
terdiam, melihat Donghae yang memandangnya dengan rasa kasihan dan kepedulian,
tiba-tiba saja itu membuatnya merasa kesal, sebuah reaksi yang seharusnya tidak
ia rasakan, tapi tetap saja ia tidak bisa mengendalikan kekesalannya. “Menurutmu kenapa?” tanyanya dengan nada menantang.
Donghae bangkit dari duduknya,
“Kau sangat menyayanginya, aku tahu. Aku juga menyayanginya, tapi..”
Yesung buru-buru memotong,
sebelum Donghae sempat melanjutkan kalimatnya, “Dia adikku!”
Ujarnya setengah berteriak. “Apa salah kalau aku menyayanginya? Dia satu-satunya yang bisa mengerti aku, dia...”
“Aku juga menyayanginya!” Donghae balas berteriak, memotong sebelum Yesung
menyelesaikan kalimatnya.
Mereka saling memandang tajam.
Yesung memandang tajam karna frustasi, Donghae memandang tajam karena putus
asa, tapi Donghae segera sadar. Ia mencoba tenang, menarik nafas dalam-dalam,
di saat seperti ini keadaan bisa jadi sangat buruk kalau mereka berdua terus
menerus menuruti amarah mereka. Mungkin ini memang salahnya, ia tahu ini adalah
topik yang sangat pribadi. Yesung sangat sensitif jika bicara tetang adiknya.
Ia mencoba tersenyum
menenangkan saat berkata, “Aku sama denganmu, aku juga sangat menyayanginya.
Dia satu-satunya gadis yang bisa mengerti aku, seperti dia mengerti dirimu,
tapi dia pasti tidak ingin kita terus menerus bersedih karena ke pergiannya.”
Donghae menjelaskan. Ia berjalan mendekati Yesung, meletakkan tangannya di
pundak Yesung, dan memberikan
tekanan pelan disana,
walaupun saat ini Yesung masih memandangnya dengan kesal.
“Selama lima tahun ini aku bisa
menerima perlakuanmu yang tidak adil padaku.” Kata Donghae memulai. “Kau melarangku
menghadiri upacara pemakamannya. Kau juga tidak pernah mengajakku menghadiri
acara peringatan kematiannya. Aku tahu kau melarangku untuk melindungiku, tapi sekarang aku sudah dewasa. Aku tidak apa-apa, aku punya kekuatan untuk menjaga diriku, dan aku
juga punya kekuatan untuk menerima kenyataan kalau gadis yang aku cintai sudah
meninggal, hyung. Jadi, berhentilah
memperlakukanku seperti lima tahun yang lalu.” Kata Donghae dengan sabar.
Pandangan tajam Yesung mulai
lenyap, kini ia terlihat begitu rapuh. Selama ini ia berpikir kalau akan lebih
baik jika Donghae tidak terlibat dengan semua hal yang ada hubungannya dengan
kepergian adiknya, tapi mungkin Donghae sudah menjadi seseorang laki-laki dewasa, mungkin
yang Donghae katakan ada benarnya. Sekarang adalah waktunya untuk membiarkan
Donghae berada di tempat seharusnya ia berada.
Donghae tampak menyadari
perubahan sikap hyung-nya. Ia menarik
tangannya dari pundak Yesung, lalu melangkah meninggalkan Yesung yang mematung,
“Istirahatlah, hyung. Kau tampak
sangat lelah.”
Perlahan-lahan Yesung berbalik,
pandangannya mengikuti punggung Donghae yang mulai menjauh, “Donghae~ya?”
Donghae berhenti dan berbalik,
“Oh?”
“Maafkan aku,” gumam Yesung menyesal. Ia merasa bersalah karna tidak
pernah membiarkan Donghae mengikuti semua acara peringatan kematian adiknya, Joo Hwi.
“Untuk apa?”
“Semuanya.” Jawab Yesung dengan maksud tersirat.
Donghae tesenyum tipis, “Hanya
dengan satu syarat.”
Yesung mengerutkan kening,
“Syarat apa?”
“Berikan itu
padaku, bisa?”
* * * * *
Soo Bin tersentak, terbangun
dari mimpi buruknya.
“Kau mimpi buruk lagi, Soo
Bin?” tanya sebuah suara dengan lembut.
Soo Bin menengok ke sumber suara dan menemukan ibu Yoon Hee sedang membuka tirai
jendela kamar Yoon Hee dirawat.
Matahari sudah terbit. Ia melihat jam tangannya, pukul 08.17
KST. Ia baru sadar kalau ia tidur dengan menggenggam tangan
Yoon Hee. Ia melepas genggamannya, meletakkan kembali tangan Yoon Hee di depan
dada, terlipat dengan rapi.
“Kau datang jam berapa?” tanya
ibu Yoon Hee.
Soo Bin menggeliat pelan, “Entahlah.” Jawabnya sambil
menguap. “Masih sangat pagi saat aku kemari.”
Ibu Yoon
Hee tersenyum getir, mendekat ke ranjang Yoon
Hee, di sisi seberang Soo Bin, membelai rambut putrinya dan memandangnya penuh
kasih sayang, lalu mencium kening Yoon Hee lembut, “Selamat pagi, Yoon Hee.”
Soo Bin terharu melihat kasih sayang ibu Hwang yang begitu
besar untuk sahabatnya itu. Ia sangat iri pada sahabatnya, bahkan dalam keadaan
tak sadarkan diri, ia tetap dilimpahi kasih sayang oleh orang-orang
disekitarnya.
Nyonya Yoon Hee mengalihkan
pandangannya pada Soo Bin, “Ayo, sarapan!” ajak ibu Yoon Hee, melangkah
menjauhi ranjang Yoon Hee, mendekati meja dari kaca yang di kelilingi sofa
berwarna krem.
Soo Bin mengikuti ibu Yoon
Hee yang duduk di sofa dan menuangkan bubur dari teremos yang tadi Soo Bin
bawa, walaupun sekarang bubur itu sudah dingin. Ibu Yoon Hee menyodorkan mangkuk berisi bubur itu pada Soo Bin.
Soo Bin menggeleng, “Aku membawanya untuk
Ibu.” Ujarnya menolak
dengan lembut. “Walaupun sekarang
sudah dingin.” Tambahnya terdengar menyesalkan, dengan senyum singkat di sudut
bibirnya.
“Kau lebih membutuhkannya, Soo Bin. Kau butuh tenaga untuk
ujianmu.” Ibu Yoon
Hee kembali menyodorkannya pada Soo Bin.
Soo Bin menerimanya, lalu dengan sigap menarik tangan ibu Yoon Hee, membuka telapak tangannya dan meletakkan mangkuk itu di
atas tangan ibu Yoon
Hee. Dengan senyum tipis Soo Bin berkata, “Aku
tidak akan ikut ujian itu.” Katanya memberi tahu.
Ibu Yoon Hee menghelan
nafas pelan, meletakkan mangkok di atas meja dan menggenggam tangan Soo Bin dan
meremasnya lembut, “Kau tahukan kalau Yoon Hee sangat menyayangimu?” tanyanya
dengan lembut, menatap penuh kasih sayang, dan Soo Bin bisa merasakannya.
Itu adalah salah satu hal yang membuat Soo Bin begitu nyaman
berlama-lama di rumah sakit, walaupun sebenarnya ia sangat benci dengan rumah
sakit. Bersama dengan Yoon Hee dan ibunya, membuat Soo Bin seperti ada
dirumahnya, bersama keluarga yang sebenarnya.
Walaupun Soo Bin bukan putrinya, tapi ibu Yoon Hee juga menyayanginya. Gadis itu telah
menjadi sahabat baik untuk putrinya. Sahabat yang sangat baik.
Soo Bin mengangguk pelan. Ia tahu apa yang akan Ibu Yoon Hee katakan padanya. Beliau pasti akan membujuknya untuk
mengikuti ujian masuk
universitas itu.
“Apa yang kau lakukan sekarang, aku yakin bukanlah hal yang
Yoon Hee ingin.” Ibu Yoon
Hee memberi tahu. “Kau sudah menjadi sahabat
yang sangat baik untuk Yoon Hee. Ibu sangat berterima kasih untuk itu. Kau
tidak perlu merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Yoon Hee, Soo Bin~a. Ini semua adalah kehendak
Tuhan, tidak
ada hubungnnya denganmu.” Ibu Yoon Hee, mencoba
meyakinkan.
“Aku tidak berfikir seperti itu. Aku tidak berada disini
karna rasa bersalah, aku ada disini karna sahabatku membutuhkanku.” Elak Soo Bin. Selama setahun ini dia memang dihantui rasa
bersalah atas apa yang terjadi pada Yoon Hee, tapi ia tetap tidak ingin mengakuinya.
Dan lebih dari rasa bersalah, perasaan sayangnya pada Yoon Hee-lah yang membuat
Soo Bin selalu setia menemani Yoon Hee di rumah sakit.
“Ibu
tahu itu, Soo Bin~a. Itu tahu. Tapi jika kau tetap seperti ini, kau hanya akan
membuat ibu berfikir kalau kau berada disisi Yoon Hee karna rasa bersalah. Kau
tinggal jauh dari keluargamu, kau tidak kuliah dan menghabiskan seluruh waktumu
dirumah sakit untuk menemani Yoon Hee. Apa kau ingin aku berfikir kalau
kebaikanmu terhadap Yoon Hee selama ini hanya karena rasa bersalah?”
Soo Bin menggeleng cepat,
“Tentu saja tidak. Aku ada untuk Yoon Hee karena ia sahabatku.”
Ibu Yoon Hee tersenyum
tipis, “Aku sudah menganggapmu seperti
putriku sendiri. Seperti halnya aku ingin yang terbaik untuk Yoon Hee, aku juga
ingin yang terbaik untukmu, Soo Bin.”
Soo Bin hendak membantah, tapi ibu Yoon Hee
tidak memberi kesempatan pada Soo Bin untuk melakukannya, “Melanjutkan hidup
itu tidak berarti kau meninggalkan Yoon Hee. Kau tetap bersamanya, hanya saja cara dan
waktunya yang berbeda.”
Soo Bin terdiam sejenak, tampak berpikir. Ia hanya memandang ibu
Yoon Hee dengan mata sayunya. Lalu beberapa saat kemudian, dengan alir
berkerut, Soo Bin bertanya, “Ibu yakin tidak
apa-apa sendirian? Hari ini dokter akan memeriksa keadaan Yoon Hee, aku rasa
ibu akan membutuhkanku di sini.”
Ibu Yoon
Hee menggeleng pelan, “Aku akan baik-baik saja.” jawabnya.
“Pergilah,” pintanya lembut.
Soo Bin tampak ragu sejanak, tapi kemudian ia mengangguk. Ibu Yoon Hee ikut berdiri saat Soo
Bin berdiri. “Aku lakukan ini karna Ibu yang memintaku, juga karna aku yakin
Yoon Hee juga menginginkannya.” Ujarnya memberi tahu.
“Aku tahu,” kata ibu Yoon Hee. “Kau harus bergegas.
Kau mungkin akan terlambat kalau tidak segera berangkat.”
Soo Bin mengambil tas srempangnya, menyampirkannya ke
bahunya lalu mendekat pada Yoon Hee, “Aku harap kau akan segera sadar agar kita bisa masuk
univesitas bersama.” Bisik Soo Bin di sambil menggenggam tangan
sahabatnya.
Soo Bin berjalan menuju pintu keluar di ikuti ibu Yoon Hee. Ia mengantar Soo Bin sampai depan pintu. Soo Bin hendak
melangkah pergi setelah berpamitan pada ibu Yoon Hee,
tapi kemudian ia berbalik dan tiba-tiba memeluk lembut ibu Yoon Hee.
Ibu Hwang membalas pelukkan Soo Bin dengan hangat dan
membelai rambutnya yang lembut, “Eomma?” panggilnya.
“Ya?”
“Apapun akan aku lakukan jika
itu adalah hal yang ibu dan Yoon Hee inginkan.”
* * * * *
Soo Bin menyesap Vanilla Latte-nya sambil menunggu. Ia baru
datang sepuluh menit yang lalu setelah menyelesaikan ujiannya masuk universitas di Seoul. Ia yakin ia akan lulus ujian itu, tapi ia tidak berfikir itu
penting untuknya, ia tidak ingin
kuliah. Setidaknya untuk sekarang.
“Sudah lama menunggu?” tanya seorang laki-laki dari balik
punggung Soo Bin dan langsung duduk di kursi di depan Soo Bin.
“Aku baru datang.” Jawab Soo
Bin datar.
Laki-laki itu memakai
setelan jas rapi, ia melepas kancing jasnya saat duduk, lalu membanting
tubuhnya ke sandaran kursi, “Tidak biasanya kau mengajakku bertemu, apa kau
merindukkanku?” tanya laki-laki itu menggoda, dengan senyum santainya yang
menawan.
Soo Bin memandangnya dingin, “Apa yang kau katakan pada ibu
Yoon Hee?” tanyanya tanpa basa-basi.
Laki-laki itu memiringkan kepala lalu menyunging senyum yang menyebalkan, “Kau ingin bertemu dengan oppa-mu hanya untuk
menanyakan hal itu?” tanyanya mencoba terdengar ramah. Walaupun sebenarnya ia
menahan
kekesalannya, yang bisa Soo Bin lihat dengan jelas. Laki-laki itu adalah kakak
tirinya, Kim Jong Hyun.
Tapi siapa yang peduli apa
yang dirasakan kakanya itu sekarang? Soo Bin sendiri juga sedang kesal saat ini.
“Kau memintanya mengusirku?” tanya Soo
Bin dengan nada tajam, matanya memandang lurus pada oppa-nya.
Laki-laki itu mengangkat
bahu tak berdaya, “Aku rasa tidak ada gunanya berbohong padamu, toh kau juga tidak
akan percaya.” Katanya mengakui. “tapi
bagaimana kau mengetahuinya? Aku yakin bukan ibu Yoon Hee memberi tahumu. Apa
aku telah melakukan kesalahan lagi?” katanya heran.
Soo Bin terdiam sebentar, tidak berniat menjawab.
“Aku bertanya padamu, Kim
Soo Bin.” Kata Jong Hyun tajam, seolah memberi perintah agar Soo Bin menjawab
pertanyaannya.
“Bunga yang tadi padi aku
ganti tidak selayu biasanya, tampak lebih segar dari biasanya. Pasti ada yang menggantinya sebelum aku.” Soo Bin memulai, “Aku juga tidak pernah membawa bunga tulip dengan pita
ataupun kain pembungkus dengan warna selain biru, saat aku membuang sampah, aku melihat pita dan pembungkus bunga warna kuning. Kuning
itu warna favoritmu.”
Selagi Soo Bin menjelaskan,
Jong Hyun menunjukan senyum tipis di sudut bibirnya. Siapapun tahu kalau itu
senyum kepuasan.
Soo Bin masih melanjutkan
penjelasannya, “Walaupun Yoon Hee tidak suka warna kuning kau sering sekali
membelikannya barang-barang dengan warna kuning. Dan satu-satunya orang yang
punya motif melakukannya, hanya kau, oppa.”
Senyum Jong Hyun di akhiri
dengan tawa kecil, “Kau memang adikku yang pintar.” Katanya memunji. “Dengan cara berpikir
seperti itu kau bisa menjadi seorang detektif ataupun jaksa penyidik.”
“Bukan aku yang pintar, kau
yang ceroboh.” bantah Soo Bin.
“Baiklah, terserah apa katamu, Soo Bin.” Kata Jong Hyun tak mau terlalu
mengambil pusing. “Aku dengar kau ikut ujian
masuk universitas hari ini, bagaimana? Apa soalnya sulit?” tanyanya
basa-basi.
Soo Bin mengacuhkan pertanyaan Jong Hyun dan balik bertanya, “Kenapa kau melakukannya oppa?”
Sikap ramah yang coba Jong
Hyun tunjukkan jelas sudah menghilang saat ekpresi laki-laki itu berubah
mengeras. “Menurutmu? Seharusnya kau sudah tahu. Apapun yang terjadi pada Yoon Hee
bukanlah salahmu. Lagi pula ibu Yoon Hee juga tidak pernah menyalahkanmu untuk
semua yang terjadi pada putrinya. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri
dan lanjutkanlah hidupmu. Jangan terus menarik diri dari dunia luar. Jangan
buang impian dan segala ambisimu.”
Soo Bin mendengu kasar. “Impian dan ambisi apa yang sedang kau bicarakan?” tanyanya dengan nada
menghina yang kentara. “Aku tidak punya ambisi
apapun. Aku berbeda denganmu, oppa. Kau adalah seorang yang terlalu ambisius. Semua
orang tahu itu.”
Jonghyun balik mendengus. “Dulu kau
sama ambisiuanya denganku, kau juga punya semangat untuk mencapai cita-citamu,”
katanya
mengingatkan. “Ah, tidak, aku salah.
Kalian.. mungkin itu kata yang lebih tepat. Kalian berdua juga orang yang
ambisius, tapi setelah kecelakaan itu semuanya berubah. Semua ambisimu hilang bersama ambisi Yoon Hee yang tidak sadarkan diri.”
“Kenapa
aku merasa kalau kau sedang menyalahkan
Yoon Hee.”
Tanya Soo Bin dengan rahang yang mengeras menahan kekesalannya.
“Aku memang menyalahkannya.” Jawab Jonghyun jujur, tak acuh,
juga menyebalkan.
Soo Bin tercengang untuk satu dua detik, lalu menghelan nafas kasar.
“Kau sadar apa yang baru saja kau katakan, oppa?” tanyanya tak percaya.
“Ya.”
“Dia itu Yoon Hee!”
pekik Soo Bin.
“Lalu?”
“Dia Yoon Hee! Hwang Yoon Hee!” ulang Soo Bin setengah berteriak.
“Memang kenapa?” tanya Jong Hyun dengan
ekspresi data, tapi cukup menakutkan dan luar biasa membuat Soo Bin kesal. “Dia hanya seseorang yang
kebetulan menjadi sahabatmu.” Tambah Jong Hyun enteng.
“OPPA!” Soo Bin benar-benar
berteriak saat mengucapkannya. Dan berhasil menarik perhatian beberapa
pengunjung cafe.
Jonghyun menatap tajam langsung ke dalam mata Soo Bin, “Jika
kau masih bersikeras ingin berdebat denganku tentang ini,
kau pasti tahu apa risikonya.” Kata Jong Hyun yang jelas
mengancam.
Soo Bin kini terdiam.
Bibirnya mengatup rapat menahan amarah. Ia tidak bisa melakukan apapun jika
Jong Hyun sudah mengunakan kata ‘risiko’ dalam perdebatan mereka. Ia tahu
risiko apa yang Jong Hyun maksud.
“Aku menginkan permintaan
maaf.” Kata Jong Hyun.
Soo Bin masih terdiam.
“Kau tidak mendengarku?”
Soo Bin segera sadar, ia
mencoba menenangkan dirinya, pandangannya perlahan melemah, “Maaf,” gumamnya
masih dengan sedikit kekesalan yang tersisa.
Jonghyun tersenyum tipis, ekspresi kesalnya juga perlahan menghilan. “Itu baru adikku yang baik dan penurut.” Ujarnya dengan
keangkuhan dalam suaranya.
Jonghyun berdiri dari kursinya, mengancingkan jasnya. “Kapan
kau akan kembali ke rumah? Kampusmu akan lebih dekat dengan rumah kita dari
pada apartement-mu
saat ini.”
“Entahlah, aku belum berpikir
tentang itu.”
“Pikirkanlah
mulai sekarang.” Perintah Jonghyun. “Segera
hubungi aku kalau kau sudah menentukan waktunya, aku akan siapkan semuanya.
Sekarang oppa harus
pergi dulu.”
Jonghyun sudah melewati Soo Bin saat ia memanggil oppa-nya. Jonghyun
menghentikan langkahnya, mereka saling memunggungi. “Apa kau sudah tidak
memiliki perasaan apapun pada Yoon Hee?”
Jonghyun terdiam sejenak, lalu menjawab, “Cinta tidak pernah
di ijinkan dalam hidupku.”
* * * * *
Soo Bin melangkah gontai saat memasuki apertement-nya. Keadaan apartement masih gelap saat Soo Bin masuk. Ia
melepas sepatunya di belakang pintu, berganti sandal bulu miliknya, lalu
merabah dinding di sampinnya dan menyalakan lampu.
Ia melempar tasnya ke sofa di
ruang tamu apartement-nya yang memiliki desain minimalis, seperti kebanyakkan
rumah dan apartement di Korea. Ia berjalan langsung ke dapur, membuka kulkas,
mengambil air mineral, meminumnya, lalu langsung masuk ke
kamarnya.
Soo Bin duduk di tepi
ranjangnya, memandang sebuah gambar yang terbingkai dengan indah dan di gantung
pada dinding yang menghadap langsung ke ranjangnya.
Gambar seorang laki-laki tampan
yang tersenyum. Laki- laki yang menjadi idolnya, Park Donghae. Gambar itu
adalah lukisan yang di buat Yoon Hee. Sesuatu yang Soo Bin sangat ingin
miliki, tapi tidak pernah bisa ia miliki, karena ia tidak perna punya cukup kemampuan untuk membuatnya, dan akhirnya ia mendapatkan dari Yoon Hee
sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-18, setahun yang lalu.
Setiap melihat gambar itu, Soo
Bin selalu teringat pada kecelakaan Yoon Hee. Saat itu lukisan
Donghae terkena darah segar
Yoon Hee, dan sampai saat ini pun masih ada
bekas darah yang tertinggal di senyum itu.
Soo
Bin tiba-tiba berkaca-kaca. Reaksi yang sama setiap
kali ia mengingat kecelakaan Yoon Hee. Soo Bin mencoba menahan air matanya.
Hari ini terlalu melelahkan, dan akan lebih melelahkan lagi jika ia harus
menangis.
Soo
Bin merebahkan tubuhnya. Menutup matanya yang
basah dengan lengannya.
“Sampai kapan kau mau terus tak
sadar?” gumam Soo Bin, yang masih teringat pada Yoon Hee.
Beberapa menit kemudian, Soo
Bin berbaring masih dengan mata yang basah. Tiba-tiba ponselnya berbunyi,
“Saranghebwatdon
gaseumirajiman.. Ibyolmankeumeun mudyojijiana..”
Dengan cepat ia bangkit, bukan
karena telefon itu, tapi karna hal lain.
Lagu
itu.
Ia hanya tidak mau mendengar
lagu itu berbunyi terlalu lama. Saat ia mengeluarkan ponselnya dari saku,
ternyata bukan telfon yang membuat ponselnya bergetar dan berbunyi.
Sebuah pesan.
Soo Bin membukanya,
From : Ji Kyung-ssi
15 Agustus 2015 20:18
Kapan kau akan pulang? Kalau
sudah selesai berkemas, beri tahu ibu, akan ibu buatkan makanan kesukaanmu
untuk merayakaan kepulanganmu.
Soo Bin melempar ponselnya ke belakang, hingga ponselnya
jatuh ke atas bantal. Ia kembali merebahkan tubuhnya. Beberapa menit
kemudian ponselnya berbunyi. Dengan malas ia meraba bantal dan melihat layar
poselnya, Ji Kyung-ssi.
Soo Bin tampak termenung menatap ponselnya lekat-lekat.
Seolah baru menyadari suatu hal, ia kemudian terperanjat dan memandangi ponselnya
yang masih berdering.
“Babo.” Gerutunya.
Soo Bin mematikan telfon dari ibu tirinya
dan menekan sejumlah nomor, lalu menelfon seseorang. Ia memikirkan
sebuah cara. Cara yang ia piker mungkin bisa membantu Yoon Hee sadar.
“Ji Young-a..”
sergahnya begitu telfon
tersambung.
“Ada apa, Soo Bin?” terdengar suara tanya seorang laki-laki di seberang dengan penuh semangat.
Ia adalah Ji Young. Sahabat Soo Bin yang lain.
“Kau merindukanku?” tanyanya menggoda, dan diakhiri dengan suara tawa yang lolos dari kerongannya.
Ia adalah Ji Young. Sahabat Soo Bin yang lain.
“Kau merindukanku?” tanyanya menggoda, dan diakhiri dengan suara tawa yang lolos dari kerongannya.
Soo Bin tidak menanggapi godaan Ji Young, atau mungkin ia
memang tidak mendengarnya karna terlalu bersemangat dengan ide bodoh yang
tiba-tiba muncul di otaknya. “Aku ingin meminta bantuanmu.”
To be continue...
0 komentar:
Posting Komentar