Sekali lagi kedua laki-laki tampan
itu tersenyum. Setelah hampir dua jam duduk di balik meja, bersikap ramah,
menjawab beberapa pertanyaan yang kadang-kadang terdengar konyol dan lucu, lalu
memberi tanda tangan dan menulis beberapa kalimat di atas hampir dua ribu lima
ratus kertas, akhirnya sekarang mereka bisa
berdiri untuk mengakhiri semuanya.
Yang mereka lakukan barusan hanya
salah satu dari banyak kegiatan mereka sebagai idol. Sudah seperti kewajiban
seorang idol untuk menjaga perasaan banyak orang yang memberi mereka dukungan dan cinta yang disebut dengan fans dan apa yang baru saja mereka lakukan adalah
salah satu caranya. Mereka adalah Kang Seung Joon dan Han Dae Goo, duo
Heroes yang sedang ada di puncak kepopularitasan dan merajai dunia hiburan
Korea.
Kini acara tanda tangan mereka
telah selesai. Mereka segera berdiri dan merapikan pakaian mereka, lalu
melambaikan tangan ke beberapa fans dan wartawan yang siap untuk memotret
mereka, sedangkan beberapa panitia penyelenggara naik ke panggung untuk
menurunkan meja dan kursi yang tadi mereka gunakan.
Para fans berteriak histeris saat
melihat senyuman mereka yang mempesona. Sebagai penutup mereka memberi hormat dengan menundukan badan lalu menuruni panggung dan menghilang di balik panggung menuju ruang
istirahat mereka sebelum kembali ke dorm mereka.
“Ini aneh, yang aku lakukan hanya
duduk, menulis beberapa kalimat, dan sekarang aku merasa sangat lelah.” Kata
laki-laki yang lebih tua sambil melepas jas hitamnya, ia adalah Kang Seung Joon. Ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang istirahat sambil memejamkan
matanya.
Penampilannya memang benar-benar
menunjukan karismanya sebagai bintang. Rambutnya pendek dan di cat dengan warna
merah gelap. Kulit putihnya tampak semakin putih saat melihat perbedaan antara
kaos hitam lengan pendek yang ia kenakan menempel di kulit putihnya. Ia
memiliki mata hitam yang sedikit sipit. Secara keseluruhan ia hampir sama
dengan laki-laki oriental lain pada umumnya tapi ia punya sesuatu yang special
dalam dirinya. Sesuatu yang dapat membuat semua orang terpesona hanya dengan
melihatnya.
Han Dae Goo adalah laki-laki yang lebih muda, kini tersenyum tipis
dan tampak sangat tampan, rambutnya juga pendek tapi berwarna hitam, ia
mengenakan pakaian yang lebih santai tapi tetap tidak mengurangi pesonanya. Ia mengenakan jaket hitam dan kaos bergaris
putih-biru.
Ia duduk bersandar dan bersandar pada punggung sofa saat menjawab,
“Aku rasa wajar kalau kau merasa lelah, hyung.”
Kata Dae Goo. “Kita sudah duduk hampir dua jam dan menulis satu dua kalimat di
atas hampir dua ribu lima ratus lembar kertas, siapapun mereka pasti juga akan
merasa lelah.” Dae Goo mengingatkan.
Seung Joon terperanjat dari istirahatnya. “Dua jam?” pekiknya.
Dae Goo mengangguk ragu—bukan karna dia ragu dengan waktu yang
mereka habiskan untuk acara tanda tangan itu, tapi reaksi Seung Joon lah yang
membuatnya jadi ragu.
“Jam berapa sekarang?” tanya Seung Joon kemudian.
Dae Goo mengangkat lengan jaketnya dan melihat jam tangannya.
“Setengah empat.” Jawabnya.
“Astaga.” Pekik Seung Joon lagi. Ia segera bangkit dari duduknya dan tampak mencari sesuatu di tasnya.
“Ada apa, hyung?”
Tanya Dae Goo dengan sebelah alis yang terangkat, bingung melihat sikap hyungnya yang tiba-tiba jadi
begitu tergesa-gesa seolah di kejar oleh pihak berwajib karna telah melakukan
sebuah kejahatan.
“Aku harus menjemput Eun Jung, sekarang dia pasti sudah menunggu.. Sial, dimana kunci mobilku?” umpat Seung Joon sambil terus mencari kunci mobilnya di dalam tas.
“Selamat sore semuanya.” Seru seorang perempuan yang tiba-tiba
muncul dan sudah berdiri di samping Dae Goo.
“Seo Yeon!” pekik Dae Goo lirih.
“Hai.” Sapa gadis yang bernama Seo Yeon itu pada Dae Goo.
Dae Goo membalas dengan senyum tipis. “Sedang apa kau disini?”
tanyanya.
“Aku mau mengajakmu makan malam,
dan..”
Seo Yeon menghentikan kalimatnya saat melihat Seung Joon yang masih sibuk
mengeluarkan isi tasnya dan mulai membongkar barang-barang di sekitar sofa. “Apa yang sedang kau lakukan, oppa?”
“Mencari kunci mobilku.” Jawab Seung Joon di sela kesibukannya.
“Coba cari di saku jasmu, hyung.”
Dae Goo menyarankan. Seung Joon menghentikan kegiatannya seolah teringat, ia
menepuk keningnya lalu merogoh kantong jasnya.
“Sial, aku lupa.” Gumamnya saat menemukan kunci mobilnya.
Dae Goo dan Seo Yeon tersenyum tipis melihat akibat dari
kepikunan Seung Joon. Seung Joon kembali memasukkan semua barang ke dalam tasnya dan memakainya di bahu, kemudian berbalik pada Dae Goo. “Terima kasih, aku pergi dulu.” Ujarnya sambil
menepuk bahu Dae Goo sambil tersenyum. “Sampai jumpa, Seo Yeon.” Kata Seung Joon, Seo Yeon hanya
tersenyum tipis dan mengangguk, Seung Joon kemudian berlari meninggalkan kedua dongsaengnya.
“Ayo, kita pergi Dae Goo.” Ajak Seo Yeon kemudian.
“Kita makan dimana?” Tanya Dae Goo sambil berjalan kearah sofa tepat Seung Joon tadi duduk.
“Ada restoran sushi yang baru buka
kemarin, aku dengar makanan disana lezat.” Jawabnya.
“Baiklah.” Jawab Dae Goo, ia lalu mengambil tasnya.
“Sebenarnya tadinya aku mau masuk
di barisan fansmu.” Aku Seo Yeon terdengar malu.
“Apa?” pekik Dae Goo terkejut. Ia menengok pada Seo Yeon sambil
mengerutkan kening.
“Tapi aku urungkan niatku.” Tambahnya cepat.
Dae Goo lalu menghelan nafas lega. “Kalau kau melakukannya seluruh
media masa akan dipenuhi berita tentang kita, dan telfon di perusahaan kita
tidak akan berhenti berdering.” ujar Dae Goo sambil memakai tasnya.
“Aku tahu, karna itu aku urungkan niatku.” Seo Yeon membela diri. “Ayo, kita pergi!”
“Ya.”
“Aku hanya dengar kalau mereka akan
berlibur.” Kata Ah Ra sambil mencoba menyembunyikan sebagian wajahnya pada
syal berwarna kuning gading yang membelit lehernya dengan longgar. Sebagian
dari rambut panjangnya yang hitam panjang dan berkilauan diikat dengan pita
berwarna biru shapire yang indah dan terurai di luar syalnya, berharap bisa
mengurangi sedikit rasa dingin yang mulai menjalari
bulu kudu di lehernya. Pita yang Ah Ra
gunakan memiliki motif yang cantik, yang
membuat simpul manis di akhir ikatannya. Ia memasukkan tangannya ke saku jas
seragam sekolahnya dan memukul-mukulkan ujung sepatunya pada tanah.
“Kemana?” Tanya Eun Jung cepat. Ia memang bisa jadi sangat agresif jika sedang
bicara tentang oppanya. Mungkin bukan hanya karna oppanya, tapi ada alasan lain yang lebih menarik perhatiannya, yaitu karna
rekan satu grup oppanya, yaitu Han Dae Goo.
Gadis yang memiliki wajah cantik dan rambut coklat panjang indah
ini sepertinya memiliki perasaan khusus pada Dae Goo dan ia bahkan tidak
mengelak saat beberapa orang menyadarinya. Ia memang tipe gadis tidak suka
berbohong. Ia akan berkata jujur dengan apa yang ia pikirkan dan ia rasakan,
selama menurutnya itu bukanlah hal yang salah.
“Aku tidak tahu.” Jawab Ah Ra dengan suara aneh karna mulutnya
tertutup syal.
“Benarkah?” Tanya Eun Jung tak percaya.
“Ya.”
“Kau bohong.” Tuduh Eun Jung.
“Tidak pernah ada yang bilang kalau aku punya wajah seorang
pembohong.” sergah Ah Ra dengan kesal sambil kembali membebaskan wajahnya dari
belitan syalnya yang membuatnya mulai tidak nyaman.
“Mereka hanya belum tahu seperti apa dirimu sebenarnya.” Sanggah
Eun Jung menyebalkan.
“Benarkah?”
“Ya.” Jawab Eun Jung cepat. “Apa Seung Joon oppa mengajakmu?” Tanya kemudian.
Ah Ra terdiam sejenak, “Sepertinya tidak.
Ia tidak bicara apapun tentang hal itu.” Jawabnya terdengar kecewa. Matanya yang tadi memandang kesal ke
arahnya kini sedang menunjukan kepiluan.
“Dia pasti mengajakmu.” Ramal Eun Jung lirih.
“Aku rasa tidak kali ini.” Bantah Ah Ra.
“Dia selalu memberikan segalanya dan melakukan semuanya untukmu.”
Aku Eun Jung dengan hati yang sedikit terluka karna itu sama saja mengakui
kalau ia tidak begitu di perhatikan oleh oppanya.
“Hah?” pekik Ah Ra terkejut.
Ah Ra memberikan reaksi yang membuat Soo
Bin sedikit kesal. Jawaban itu seolah meremehkannya.
”Kau pacarnya, aku adiknya. Dan kau
selalu jadi nomor satu untuknya.” Ujar Eun Jung memperjelas kata-katanya. Ia mengatakannya itu dengan
sengaja. Masalah ini sudah cukup mengganggunya, dan sekarang Ah Ra membuatnya kesal, walaupun sebenarnya ia tidak bermaksud begitu.
Eun Jung bermaksud untuk mulai terbuka
dengan masalah ini. Ia ingin dengar apa yang sahabatnya pikirkan tentang hal
ini.
Tentu saja, sebagai seorang adik
dia tidak bisa tetap baik-baik saja saat mengetahui semua kenyataan itu. Tapi Ah Ra adalah sahabatnya, terlepas dari statusnya sebagai
pacar oppanya, Ah Ra adalah seorang sahabat dan pendengar yang baik dan
pemberi saran juga solusi yang baik untuk semua masalahnya, termasuk dalam hal
ini, walaupun ini melibatkan dirinya sendiri, ia yakin kalau sahabatanya akan
memberi tanggapan sejujur-jujurnya, karna ia adalah cermin bagi Eun Jung.
“Apa?” Tanya Ah Ra. Dia tidak tuli, ia hanya merasa perlu mendengar ulang apa yang Eun Jung katakan tentang perasaannya, yang sebenarnya lebih mirip sindiran.
Eun Jung melayangkan pandangan penuh
kekesalan. “Lupakan.” Perintahnya. Ia
mengurungkan niatnya karna pertanyaan yang menurut Eun Jung penuh penghinaan.
Sudah cukup memalukan dan
menyakitkan baginya untuk mengakui kenyataan itu, dan sekarang ia bersikap
seperti orang tuli dan memintanya mengulangi, yang benar saja.
Ah Ra menghelan nafas. “Jadi kau mau dengar pendapatku
sebagai seorang sahabat atau sebagai pacar oppamu?” Tanya dengan lemas.
Eun Jung memandang Ah Ra dengan pandang polos, seperti pandang seorang anak
kecil yang ingin mengetahui suatu hal. “Aku harus mendengar keduanya sebelum
memutuskan, apa aku akan tetap bersahabat denganmu atau berakhir dengan
membencimu.” Jawab Eun Jung jujur.
Sepertinya gadis ini memang tidak
pernah belajar seni berbohong, menyembunyikan perasaanya, dan menjaga
perasaan orang lain. Apa saja ia yang pelajari di Jepang. Apa dia tumbuh dalam lingkungan yang seperti ini?
Ah Ra melonggarkan syalnya. “Sebagai
seorang sahabat aku tidak bisa membenarkan sikap oppamu ataupun pacarnya.” Katanya memulai. “Sebagai orang luar yang hanya
tahu semua dari yang aku lihat dan yang ku dengar darimu, semua kesalahan ini
pasti tidak akan terjadi seandainya oppamu tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Hubungan
kalian sudah cukup buruk dengan semakin sedikitnya waktu kalian untuk bersama
dan sekarang ada orang luar yang seolah memaksa masuk di antara kalian dan
diam-diam menjadi musuh dalam selimut.” Jawab Ah Ra mencoba jujur.
“Jadi ini sepenuhnya salah pacar oppaku?” Tanya Eun Jung polos seolah kata-kata itu tidak akan menyakiti Ah Ra.
“Ya.” Jawabnya mencoba kuat.
“Baiklah, kalau begitu sekarang aku mau mendengar pendapatmu
sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku.”
Tenggorokan Ah Ra serasa tercekat. Ia terdiam sebentar sebelum menjawab. “Sebagai pacar oppamu, aku tidak dapat mengelak. Sebanyak apapun aku mengelak dan membela
diriku, semua yang kau katakan memang benar. Semuanya juga tidak akan berubah
seandainya aku berkata tidak.” Jawab Ah Ra lirih, ada nada bersalah di setiap kata yang ia
ucapkan.
Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum kembali memulai, “Semuanya.. Sikap oppa yang mempedulikanku, menyayangiku, lebih
mengutamakanku, itu semua hanya apa yang dapat dilihat dari luar. Ada lebih
banyak hal yang lain tidak tahu tentang itu.”Ah Ra mencoba meyakinkan.
“Semua waktu yang seharusnya ia habiskan denganmu memang selalu ia
habiskan denganku dan aku minta maaf untuk hal itu, walaupun itu bukanlah
kesalahanku, tapi percayalah, saat bersamaku oppa tidak pernah berhenti bicara
tentangmu. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentangmu. Tentang kekhawatirannya
akan masa remajamu di Korea, kekhawatirannya tentang pergaulanmu yang pasti
sangat berbeda dengan pergaulanmu saat di Jepang dan caramu bersosialisasi
dengan kemampuanmu berbahasa Korea yang kurang baik, dan banyak lagi, yang ia
pendam, terlebih lagi dengan kurangnya waktu yang ia miliki untuk menemanimu.” Tambahnya mencoba meyakinkan.
Eun Jung tertegun mendengar apa yang di katakan Ah Ra. Ia memandang Ah Ra kagum, ia tampak sangat dewasa dan serius saat
mengatakannya, tapi semua yang Ah Ra katakan sangatlah bertolak belakang dengan kenyataannya, dan itu
membuatnya bingung.
“Apa kau mendengar yang aku
katakan?” Ah Ra yang menangkap basah Eun Jung sedang melamun.
Eun Jung menggeleng-gelengkan kepalanya, untuk menyadarkan dirinya lalu
mengangguk sebagai tanda ia
mengerti.
Tapi tampaknya Ah Ra tak mengerti maksud Eun Jung. Ia mengerutkan kening lalu kembal bertanya,
“Sebenarnya kau ini mengerti atau tidak? Kalau menggeleng ya menggeleng saja,
kalau mengangguk ya mengangguk saja, jangan mengeleng-gelengkan seperti anak
kecil lalu mengangguk-mengangguk aneh.”
“Aku mengerti.” Jawab Eun Jung memperjelas dengan perasaan sedikit
kesal.
“Ah, benarkah?”
“Ya.”
“Baguslah kalau begitu.” Kata Ah Ra pura-pura lega.
“Kau terdengar merendahkanku.”
“Memang iya.” Jawab Ah Ra dengan senyum yang menyebalkan.
Eun Jung mulai kesal. Rasa kagumnya akan kata-kata indah dan mengharukan yang tadi Ah Ra ucapkan kini langsung hilang, ia benar-benar gadis menyebalkan. Ia
merasa bodoh karna bisa percaya dengan kata-kata Yoon Hee beberapa menit yang
lalu.
“Aku ingin bertanya sesuatu.” Tanya Eun Jung tiba-tiba.
“Apa?”
“Yang kau katakan tadi, tentang oppa,
apa itu semua benar atau kau hanya sedang menenangkanku?” Tanya Eun Jung
terlihat malu, sedikit canggung dan tak percaya.
“Tentu saja tidak. Apa aku terlihat seperti anak yang sebaik itu,
yang akan berbohong untuk ketenangan hatimu?” tanyanya.
“Tidak.”
“Bagus. Kau harus percaya, dia bukannya tidak peduli padamu. Ia
hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkanya, seperti halnya dirimu.” Ujarnya kini dengan lembut.
“Kau tumbuh tanpa seorang oppa disisimu sampai kau kehilangan orang tuamu, kau di
besarkan seperti seorang anak tunggal. Itu tidak jauh berbeda dengan oppa. Ia habiskan masa remajanya tanpa tahu rasanya punya dongsaeng. Dia tinggal sendiri di Korea, saat seharusnya kalian semua berkumpul
sebagai satu keluarga yang utuh di Jepang.” Ah Ra menjelaskan dengan sabar. “Kalian di besarkan dengan
cara yang benar-benar berbeda. Mungkin itu yang membuat kalian mempunyi
begitu banyak perbedaan. Tapi aku yakin seandainya kalian lebih sering
menghabiskan waktu bersama, kalian akan terbiasa dengan keadaan kalian sebagai
saudara.”
“Mungkin begitu, tapi sayangnya
waktu yang kau katakan itu tidak pernah ada untuk kami.” Ujar Eun Jung terdengar putus asa.
Ah Ra tersenyum penuh arti saat meletakkan tangannya di bahu Eun Jung dan berkata, “Kalau kesempatan itu tidak ada untuk
kalian, kau harus membuatnya sendiri.” Perintah Ah Ra.
“Apa maksudmu?” Tanya Eun Jung mengerutkan kening pada Ah Ra.
“Kau pasti akan tahu maksudku.”
“Aku rasa tidak.”
“Kau akan tahu.” Ah Ra bersikeras.
“Tidak, aku tidak tahu.”
Ah Ra menyipitkan mata. Menurunkan tangannya dari bahu Eun Jung lalu bertanya, “Kau pernah dengar manusia berotak lamban?” Tanya Ah Ra kesal.
“Tidak.”
“Itu kau.” hardiknya.
“Apa di keningku ada tulisan minta
di hina?” sergah Eun Jung kesal.
“Ya.”
Mereka saling memandang tajam.
Seperti dua orang musuh yang siap membunuh satu sama lain. Mungkin mereka
memang akan benar-benar saling membunuh seandainya sebuah mobil tidak segera
datang dan mencuri perhatian mereka.
Mereka berdua mengenal mobil itu.
Kaca depan di sisi kanan terbuka. Dibalik kaca tersebut mereka melihat sosok
yang memicu pertengkaran mereka.
“Selamat siang gadis-gadis cantik. Mian, aku terlambat. Acara itu ternyata memakan waktu
lebih lama dari yang aku perkirakan.” Katanya.
“Selamat siang?” gumam Ah Ra masih sedikit kesal.
“Ini sudah sore, apa jam tangan oppa mati atau oppa tidak
bisa melihat jam?” Tanya Eun Jung tajam.
Seung Joon mengerutkan kening. “Kalian terlihat penuh kemarahan.”
Katanya seolah tahu.
Eun Jung tidak menjawab. Ia melangkah menuju pintu belakang mobil oppanya tanpa menengok pada Ah
Ra sambil bergumam sebelum masuk ke mobil oppanya,
“Itu tidak akan terjadi seandainya kau tepat waktu.” Protesnya.
Seung Joon tidak
ingin mengambil pusing apa yang Eun Jung katakan, terkadang ia bisa bicara dengan sangat kasar
kalau sudah kesal. Apa lagi dia tidak suka berbohong dan dia sudah mulai terbiasa
dengan hal itu.
“Terima kasih kaarena telah menemani Eun Jung menunggu, Ah Ra.” Ujarnya dengan senyum mempesona, lalu ia condong
keluar dari jendela mobil saat berbisik, “Kau calon kakak ipar yang baik.”
“Itu sudah jadi kewajibanku.” Jawab Eun Jung tersenyum tipis di sudut bibirnya. Suasana hati berubah dengan cepat.
“Kapan kita akan pulang?” seru Eun Jung dari dalam mobil dengan nada suara kesal.
“Segera, adikku sayang.” Jawab Seung Joon. “Masuklah, Ah Ra, biar aku antar.”
“Tidak, aku naik bus saja.”
Seung Joon mengerutkan kening, “Kau mau membuatku terlihat seperti
laki-laki jahat yang meninggalkan pacarnya seorang diri padahal ia bisa
mengantarkanmu.” Sergah Seung Joon.
“Kau tidak akan disebut laki-laki
jahat hanya karna membiarkanku pulang naik bus, lagi pula tidak banyak orang
yang tahu kalau kita pacaran.” Balas Ah Ra.
“Terserah apa katamu. Sekarang cepat naik, atau Eun Jung akan
berteriak lagi.”
“Apartement-ku dan rumahmu berlawanan arah, oppa.” Ah Ra mengingatkan.
“Itu tidak pernah jadi masalah.”
“Aku tetap mau naik bus saja.” Ah Ra tidak mau mengalah.
Seung Joon menghelan nafas, lalu
keluar dari mobilnya dan berdiri tegak di depan Ah Ra. “Kau ini sangat tidak romantis.” Protes Seung Joon. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya dan memberikan selembar
keras pada Eun Jung. “Ambil ini, anggap saja ini hadiah karna kau telah
menolak pulang denganku.” Katanya.
“Hah?” Ah Ra mengerutkan kening pada Seung Joon saat melihat benda
di tangannya.
“Kenapa ekspesimu seperti itu?” Tanya Seung Joon, Ah Ra tidak
menjawab dan tidak mengubah ekspresinya.
Seung Joon maju satu langkah mendekat pada Ah Ra. “Kami akan berlibur ke Jeju. Hampir satu minggu kita tidak
jalan-jalan bersama, aku terlalu sibuk, jadi ikutlah denganku, kita bisa
menghabiskan akhir pekan bersama.” Pinta Seung Joon dengan menunjukan senyun yang penuh arti.
“Hanya aku?” Tanya Ah Ra.
“Dae Goo juga pasti mengajak sesorang.”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Eun Jung.” Jawab Ah Ra.
“Ah, itu.” Seung Joon tampak berfikir sejenak. “Tapi kami
hanya diijinkan mengajak satu orang, itupun dengan usaha yang luar biasa.”
“Kenapa aku? Kenapa tidak Eun Jung? Kalian lebih butuh waktu untuk bersama.” Tanya Ah Ra heran.
“Kenapa bukan kau? Kenapa harus Eun Jung? Kami akan temukan waktu untuk kami sendiri dan ini adalah waktu untuk
kita.” Katanya bersikeras.
Sekali lagi kedua laki-laki tampan
itu tersenyum. Setelah hampir dua jam duduk di balik meja, bersikap ramah,
menjawab beberapa pertanyaan yang kadang-kadang terdengar konyol dan lucu, lalu
memberi tanda tangan dan menulis beberapa kalimat di atas hampir dua ribu lima
ratus kertas, akhirnya sekarang mereka bisa
berdiri untuk mengakhiri semuanya.
Yang mereka lakukan barusan hanya
salah satu dari banyak kegiatan mereka sebagai idol. Sudah seperti kewajiban
seorang idol untuk menjaga perasaan banyak orang yang memberi mereka dukungan dan cinta yang disebut dengan fans dan apa yang baru saja mereka lakukan adalah
salah satu caranya. Mereka adalah Kang Seung Joon dan Han Dae Goo, duo
Heroes yang sedang ada di puncak kepopularitasan dan merajai dunia hiburan
Korea.
Kini acara tanda tangan mereka
telah selesai. Mereka segera berdiri dan merapikan pakaian mereka, lalu
melambaikan tangan ke beberapa fans dan wartawan yang siap untuk memotret
mereka, sedangkan beberapa panitia penyelenggara naik ke panggung untuk
menurunkan meja dan kursi yang tadi mereka gunakan.
Para fans berteriak histeris saat
melihat senyuman mereka yang mempesona. Sebagai penutup mereka memberi hormat dengan menundukan badan lalu menuruni panggung dan menghilang di balik panggung menuju ruang
istirahat mereka sebelum kembali ke dorm mereka.
“Ini aneh, yang aku lakukan hanya
duduk, menulis beberapa kalimat, dan sekarang aku merasa sangat lelah.” Kata
laki-laki yang lebih tua sambil melepas jas hitamnya, ia adalah Kang Seung Joon. Ia merebahkan tubuhnya di sofa ruang istirahat sambil memejamkan
matanya.
Penampilannya memang benar-benar
menunjukan karismanya sebagai bintang. Rambutnya pendek dan di cat dengan warna
merah gelap. Kulit putihnya tampak semakin putih saat melihat perbedaan antara
kaos hitam lengan pendek yang ia kenakan menempel di kulit putihnya. Ia
memiliki mata hitam yang sedikit sipit. Secara keseluruhan ia hampir sama
dengan laki-laki oriental lain pada umumnya tapi ia punya sesuatu yang special
dalam dirinya. Sesuatu yang dapat membuat semua orang terpesona hanya dengan
melihatnya.
Han Dae Goo adalah laki-laki yang lebih muda, kini tersenyum tipis
dan tampak sangat tampan, rambutnya juga pendek tapi berwarna hitam, ia
mengenakan pakaian yang lebih santai tapi tetap tidak mengurangi pesonanya. Ia mengenakan jaket hitam dan kaos bergaris
putih-biru.
Ia duduk bersandar dan bersandar pada punggung sofa saat menjawab,
“Aku rasa wajar kalau kau merasa lelah, hyung.”
Kata Dae Goo. “Kita sudah duduk hampir dua jam dan menulis satu dua kalimat di
atas hampir dua ribu lima ratus lembar kertas, siapapun mereka pasti juga akan
merasa lelah.” Dae Goo mengingatkan.
Seung Joon terperanjat dari istirahatnya. “Dua jam?” pekiknya.
Dae Goo mengangguk ragu—bukan karna dia ragu dengan waktu yang
mereka habiskan untuk acara tanda tangan itu, tapi reaksi Seung Joon lah yang
membuatnya jadi ragu.
“Jam berapa sekarang?” tanya Seung Joon kemudian.
Dae Goo mengangkat lengan jaketnya dan melihat jam tangannya.
“Setengah empat.” Jawabnya.
“Astaga.” Pekik Seung Joon lagi. Ia segera bangkit dari duduknya dan tampak mencari sesuatu di tasnya.
“Ada apa, hyung?”
Tanya Dae Goo dengan sebelah alis yang terangkat, bingung melihat sikap hyungnya yang tiba-tiba jadi
begitu tergesa-gesa seolah di kejar oleh pihak berwajib karna telah melakukan
sebuah kejahatan.
“Aku harus menjemput Eun Jung, sekarang dia pasti sudah menunggu.. Sial, dimana kunci mobilku?” umpat Seung Joon sambil terus mencari kunci mobilnya di dalam tas.
“Selamat sore semuanya.” Seru seorang perempuan yang tiba-tiba
muncul dan sudah berdiri di samping Dae Goo.
“Seo Yeon!” pekik Dae Goo lirih.
“Hai.” Sapa gadis yang bernama Seo Yeon itu pada Dae Goo.
Dae Goo membalas dengan senyum tipis. “Sedang apa kau disini?”
tanyanya.
“Aku mau mengajakmu makan malam,
dan..”
Seo Yeon menghentikan kalimatnya saat melihat Seung Joon yang masih sibuk
mengeluarkan isi tasnya dan mulai membongkar barang-barang di sekitar sofa. “Apa yang sedang kau lakukan, oppa?”
“Mencari kunci mobilku.” Jawab Seung Joon di sela kesibukannya.
“Coba cari di saku jasmu, hyung.”
Dae Goo menyarankan. Seung Joon menghentikan kegiatannya seolah teringat, ia
menepuk keningnya lalu merogoh kantong jasnya.
“Sial, aku lupa.” Gumamnya saat menemukan kunci mobilnya.
Dae Goo dan Seo Yeon tersenyum tipis melihat akibat dari
kepikunan Seung Joon. Seung Joon kembali memasukkan semua barang ke dalam tasnya dan memakainya di bahu, kemudian berbalik pada Dae Goo. “Terima kasih, aku pergi dulu.” Ujarnya sambil
menepuk bahu Dae Goo sambil tersenyum. “Sampai jumpa, Seo Yeon.” Kata Seung Joon, Seo Yeon hanya
tersenyum tipis dan mengangguk, Seung Joon kemudian berlari meninggalkan kedua dongsaengnya.
“Ayo, kita pergi Dae Goo.” Ajak Seo Yeon kemudian.
“Kita makan dimana?” Tanya Dae Goo sambil berjalan kearah sofa tepat Seung Joon tadi duduk.
“Ada restoran sushi yang baru buka
kemarin, aku dengar makanan disana lezat.” Jawabnya.
“Baiklah.” Jawab Dae Goo, ia lalu mengambil tasnya.
“Sebenarnya tadinya aku mau masuk
di barisan fansmu.” Aku Seo Yeon terdengar malu.
“Apa?” pekik Dae Goo terkejut. Ia menengok pada Seo Yeon sambil
mengerutkan kening.
“Tapi aku urungkan niatku.” Tambahnya cepat.
Dae Goo lalu menghelan nafas lega. “Kalau kau melakukannya seluruh
media masa akan dipenuhi berita tentang kita, dan telfon di perusahaan kita
tidak akan berhenti berdering.” ujar Dae Goo sambil memakai tasnya.
“Aku tahu, karna itu aku urungkan niatku.” Seo Yeon membela diri. “Ayo, kita pergi!”
“Ya.”
“Aku hanya dengar kalau mereka akan
berlibur.” Kata Ah Ra sambil mencoba menyembunyikan sebagian wajahnya pada
syal berwarna kuning gading yang membelit lehernya dengan longgar. Sebagian
dari rambut panjangnya yang hitam panjang dan berkilauan diikat dengan pita
berwarna biru shapire yang indah dan terurai di luar syalnya, berharap bisa
mengurangi sedikit rasa dingin yang mulai menjalari
bulu kudu di lehernya. Pita yang Ah Ra
gunakan memiliki motif yang cantik, yang
membuat simpul manis di akhir ikatannya. Ia memasukkan tangannya ke saku jas
seragam sekolahnya dan memukul-mukulkan ujung sepatunya pada tanah.
“Kemana?” Tanya Eun Jung cepat. Ia memang bisa jadi sangat agresif jika sedang
bicara tentang oppanya. Mungkin bukan hanya karna oppanya, tapi ada alasan lain yang lebih menarik perhatiannya, yaitu karna
rekan satu grup oppanya, yaitu Han Dae Goo.
Gadis yang memiliki wajah cantik dan rambut coklat panjang indah
ini sepertinya memiliki perasaan khusus pada Dae Goo dan ia bahkan tidak
mengelak saat beberapa orang menyadarinya. Ia memang tipe gadis tidak suka
berbohong. Ia akan berkata jujur dengan apa yang ia pikirkan dan ia rasakan,
selama menurutnya itu bukanlah hal yang salah.
“Aku tidak tahu.” Jawab Ah Ra dengan suara aneh karna mulutnya
tertutup syal.
“Benarkah?” Tanya Eun Jung tak percaya.
“Ya.”
“Kau bohong.” Tuduh Eun Jung.
“Tidak pernah ada yang bilang kalau aku punya wajah seorang
pembohong.” sergah Ah Ra dengan kesal sambil kembali membebaskan wajahnya dari
belitan syalnya yang membuatnya mulai tidak nyaman.
“Mereka hanya belum tahu seperti apa dirimu sebenarnya.” Sanggah
Eun Jung menyebalkan.
“Benarkah?”
“Ya.” Jawab Eun Jung cepat. “Apa Seung Joon oppa mengajakmu?” Tanya kemudian.
Ah Ra terdiam sejenak, “Sepertinya tidak.
Ia tidak bicara apapun tentang hal itu.” Jawabnya terdengar kecewa. Matanya yang tadi memandang kesal ke
arahnya kini sedang menunjukan kepiluan.
“Dia pasti mengajakmu.” Ramal Eun Jung lirih.
“Aku rasa tidak kali ini.” Bantah Ah Ra.
“Dia selalu memberikan segalanya dan melakukan semuanya untukmu.”
Aku Eun Jung dengan hati yang sedikit terluka karna itu sama saja mengakui
kalau ia tidak begitu di perhatikan oleh oppanya.
“Hah?” pekik Ah Ra terkejut.
Ah Ra memberikan reaksi yang membuat Soo
Bin sedikit kesal. Jawaban itu seolah meremehkannya.
”Kau pacarnya, aku adiknya. Dan kau
selalu jadi nomor satu untuknya.” Ujar Eun Jung memperjelas kata-katanya. Ia mengatakannya itu dengan
sengaja. Masalah ini sudah cukup mengganggunya, dan sekarang Ah Ra membuatnya kesal, walaupun sebenarnya ia tidak bermaksud begitu.
Eun Jung bermaksud untuk mulai terbuka
dengan masalah ini. Ia ingin dengar apa yang sahabatnya pikirkan tentang hal
ini.
Tentu saja, sebagai seorang adik
dia tidak bisa tetap baik-baik saja saat mengetahui semua kenyataan itu. Tapi Ah Ra adalah sahabatnya, terlepas dari statusnya sebagai
pacar oppanya, Ah Ra adalah seorang sahabat dan pendengar yang baik dan
pemberi saran juga solusi yang baik untuk semua masalahnya, termasuk dalam hal
ini, walaupun ini melibatkan dirinya sendiri, ia yakin kalau sahabatanya akan
memberi tanggapan sejujur-jujurnya, karna ia adalah cermin bagi Eun Jung.
“Apa?” Tanya Ah Ra. Dia tidak tuli, ia hanya merasa perlu mendengar ulang apa yang Eun Jung katakan tentang perasaannya, yang sebenarnya lebih mirip sindiran.
Eun Jung melayangkan pandangan penuh
kekesalan. “Lupakan.” Perintahnya. Ia
mengurungkan niatnya karna pertanyaan yang menurut Eun Jung penuh penghinaan.
Sudah cukup memalukan dan
menyakitkan baginya untuk mengakui kenyataan itu, dan sekarang ia bersikap
seperti orang tuli dan memintanya mengulangi, yang benar saja.
Ah Ra menghelan nafas. “Jadi kau mau dengar pendapatku
sebagai seorang sahabat atau sebagai pacar oppamu?” Tanya dengan lemas.
Eun Jung memandang Ah Ra dengan pandang polos, seperti pandang seorang anak
kecil yang ingin mengetahui suatu hal. “Aku harus mendengar keduanya sebelum
memutuskan, apa aku akan tetap bersahabat denganmu atau berakhir dengan
membencimu.” Jawab Eun Jung jujur.
Sepertinya gadis ini memang tidak
pernah belajar seni berbohong, menyembunyikan perasaanya, dan menjaga
perasaan orang lain. Apa saja ia yang pelajari di Jepang. Apa dia tumbuh dalam lingkungan yang seperti ini?
Ah Ra melonggarkan syalnya. “Sebagai
seorang sahabat aku tidak bisa membenarkan sikap oppamu ataupun pacarnya.” Katanya memulai. “Sebagai orang luar yang hanya
tahu semua dari yang aku lihat dan yang ku dengar darimu, semua kesalahan ini
pasti tidak akan terjadi seandainya oppamu tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Hubungan
kalian sudah cukup buruk dengan semakin sedikitnya waktu kalian untuk bersama
dan sekarang ada orang luar yang seolah memaksa masuk di antara kalian dan
diam-diam menjadi musuh dalam selimut.” Jawab Ah Ra mencoba jujur.
“Jadi ini sepenuhnya salah pacar oppaku?” Tanya Eun Jung polos seolah kata-kata itu tidak akan menyakiti Ah Ra.
“Ya.” Jawabnya mencoba kuat.
“Baiklah, kalau begitu sekarang aku mau mendengar pendapatmu
sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku.”
Tenggorokan Ah Ra serasa tercekat. Ia terdiam sebentar sebelum menjawab. “Sebagai pacar oppamu, aku tidak dapat mengelak. Sebanyak apapun aku mengelak dan membela
diriku, semua yang kau katakan memang benar. Semuanya juga tidak akan berubah
seandainya aku berkata tidak.” Jawab Ah Ra lirih, ada nada bersalah di setiap kata yang ia
ucapkan.
Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum kembali memulai, “Semuanya.. Sikap oppa yang mempedulikanku, menyayangiku, lebih
mengutamakanku, itu semua hanya apa yang dapat dilihat dari luar. Ada lebih
banyak hal yang lain tidak tahu tentang itu.”Ah Ra mencoba meyakinkan.
“Semua waktu yang seharusnya ia habiskan denganmu memang selalu ia
habiskan denganku dan aku minta maaf untuk hal itu, walaupun itu bukanlah
kesalahanku, tapi percayalah, saat bersamaku oppa tidak pernah berhenti bicara
tentangmu. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentangmu. Tentang kekhawatirannya
akan masa remajamu di Korea, kekhawatirannya tentang pergaulanmu yang pasti
sangat berbeda dengan pergaulanmu saat di Jepang dan caramu bersosialisasi
dengan kemampuanmu berbahasa Korea yang kurang baik, dan banyak lagi, yang ia
pendam, terlebih lagi dengan kurangnya waktu yang ia miliki untuk menemanimu.” Tambahnya mencoba meyakinkan.
Eun Jung tertegun mendengar apa yang di katakan Ah Ra. Ia memandang Ah Ra kagum, ia tampak sangat dewasa dan serius saat
mengatakannya, tapi semua yang Ah Ra katakan sangatlah bertolak belakang dengan kenyataannya, dan itu
membuatnya bingung.
“Apa kau mendengar yang aku
katakan?” Ah Ra yang menangkap basah Eun Jung sedang melamun.
Eun Jung menggeleng-gelengkan kepalanya, untuk menyadarkan dirinya lalu
mengangguk sebagai tanda ia
mengerti.
Tapi tampaknya Ah Ra tak mengerti maksud Eun Jung. Ia mengerutkan kening lalu kembal bertanya,
“Sebenarnya kau ini mengerti atau tidak? Kalau menggeleng ya menggeleng saja,
kalau mengangguk ya mengangguk saja, jangan mengeleng-gelengkan seperti anak
kecil lalu mengangguk-mengangguk aneh.”
“Aku mengerti.” Jawab Eun Jung memperjelas dengan perasaan sedikit
kesal.
“Ah, benarkah?”
“Ya.”
“Baguslah kalau begitu.” Kata Ah Ra pura-pura lega.
“Kau terdengar merendahkanku.”
“Memang iya.” Jawab Ah Ra dengan senyum yang menyebalkan.
Eun Jung mulai kesal. Rasa kagumnya akan kata-kata indah dan mengharukan yang tadi Ah Ra ucapkan kini langsung hilang, ia benar-benar gadis menyebalkan. Ia
merasa bodoh karna bisa percaya dengan kata-kata Yoon Hee beberapa menit yang
lalu.
“Aku ingin bertanya sesuatu.” Tanya Eun Jung tiba-tiba.
“Apa?”
“Yang kau katakan tadi, tentang oppa,
apa itu semua benar atau kau hanya sedang menenangkanku?” Tanya Eun Jung
terlihat malu, sedikit canggung dan tak percaya.
“Tentu saja tidak. Apa aku terlihat seperti anak yang sebaik itu,
yang akan berbohong untuk ketenangan hatimu?” tanyanya.
“Tidak.”
“Bagus. Kau harus percaya, dia bukannya tidak peduli padamu. Ia
hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkanya, seperti halnya dirimu.” Ujarnya kini dengan lembut.
“Kau tumbuh tanpa seorang oppa disisimu sampai kau kehilangan orang tuamu, kau di
besarkan seperti seorang anak tunggal. Itu tidak jauh berbeda dengan oppa. Ia habiskan masa remajanya tanpa tahu rasanya punya dongsaeng. Dia tinggal sendiri di Korea, saat seharusnya kalian semua berkumpul
sebagai satu keluarga yang utuh di Jepang.” Ah Ra menjelaskan dengan sabar. “Kalian di besarkan dengan
cara yang benar-benar berbeda. Mungkin itu yang membuat kalian mempunyi
begitu banyak perbedaan. Tapi aku yakin seandainya kalian lebih sering
menghabiskan waktu bersama, kalian akan terbiasa dengan keadaan kalian sebagai
saudara.”
“Mungkin begitu, tapi sayangnya
waktu yang kau katakan itu tidak pernah ada untuk kami.” Ujar Eun Jung terdengar putus asa.
Ah Ra tersenyum penuh arti saat meletakkan tangannya di bahu Eun Jung dan berkata, “Kalau kesempatan itu tidak ada untuk
kalian, kau harus membuatnya sendiri.” Perintah Ah Ra.
“Apa maksudmu?” Tanya Eun Jung mengerutkan kening pada Ah Ra.
“Kau pasti akan tahu maksudku.”
“Aku rasa tidak.”
“Kau akan tahu.” Ah Ra bersikeras.
“Tidak, aku tidak tahu.”
Ah Ra menyipitkan mata. Menurunkan tangannya dari bahu Eun Jung lalu bertanya, “Kau pernah dengar manusia berotak lamban?” Tanya Ah Ra kesal.
“Tidak.”
“Itu kau.” hardiknya.
“Apa di keningku ada tulisan minta
di hina?” sergah Eun Jung kesal.
“Ya.”
Mereka saling memandang tajam.
Seperti dua orang musuh yang siap membunuh satu sama lain. Mungkin mereka
memang akan benar-benar saling membunuh seandainya sebuah mobil tidak segera
datang dan mencuri perhatian mereka.
Mereka berdua mengenal mobil itu.
Kaca depan di sisi kanan terbuka. Dibalik kaca tersebut mereka melihat sosok
yang memicu pertengkaran mereka.
“Selamat siang gadis-gadis cantik. Mian, aku terlambat. Acara itu ternyata memakan waktu
lebih lama dari yang aku perkirakan.” Katanya.
“Selamat siang?” gumam Ah Ra masih sedikit kesal.
“Ini sudah sore, apa jam tangan oppa mati atau oppa tidak
bisa melihat jam?” Tanya Eun Jung tajam.
Seung Joon mengerutkan kening. “Kalian terlihat penuh kemarahan.”
Katanya seolah tahu.
Eun Jung tidak menjawab. Ia melangkah menuju pintu belakang mobil oppanya tanpa menengok pada Ah
Ra sambil bergumam sebelum masuk ke mobil oppanya,
“Itu tidak akan terjadi seandainya kau tepat waktu.” Protesnya.
Seung Joon tidak
ingin mengambil pusing apa yang Eun Jung katakan, terkadang ia bisa bicara dengan sangat kasar
kalau sudah kesal. Apa lagi dia tidak suka berbohong dan dia sudah mulai terbiasa
dengan hal itu.
“Terima kasih kaarena telah menemani Eun Jung menunggu, Ah Ra.” Ujarnya dengan senyum mempesona, lalu ia condong
keluar dari jendela mobil saat berbisik, “Kau calon kakak ipar yang baik.”
“Itu sudah jadi kewajibanku.” Jawab Eun Jung tersenyum tipis di sudut bibirnya. Suasana hati berubah dengan cepat.
“Kapan kita akan pulang?” seru Eun Jung dari dalam mobil dengan nada suara kesal.
“Segera, adikku sayang.” Jawab Seung Joon. “Masuklah, Ah Ra, biar aku antar.”
“Tidak, aku naik bus saja.”
Seung Joon mengerutkan kening, “Kau mau membuatku terlihat seperti
laki-laki jahat yang meninggalkan pacarnya seorang diri padahal ia bisa
mengantarkanmu.” Sergah Seung Joon.
“Kau tidak akan disebut laki-laki
jahat hanya karna membiarkanku pulang naik bus, lagi pula tidak banyak orang
yang tahu kalau kita pacaran.” Balas Ah Ra.
“Terserah apa katamu. Sekarang cepat naik, atau Eun Jung akan
berteriak lagi.”
“Apartement-ku dan rumahmu berlawanan arah, oppa.” Ah Ra mengingatkan.
“Itu tidak pernah jadi masalah.”
“Aku tetap mau naik bus saja.” Ah Ra tidak mau mengalah.
Seung Joon menghelan nafas, lalu
keluar dari mobilnya dan berdiri tegak di depan Ah Ra. “Kau ini sangat tidak romantis.” Protes Seung Joon. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya dan memberikan selembar
keras pada Eun Jung. “Ambil ini, anggap saja ini hadiah karna kau telah
menolak pulang denganku.” Katanya.
“Hah?” Ah Ra mengerutkan kening pada Seung Joon saat melihat benda
di tangannya.
“Kenapa ekspesimu seperti itu?” Tanya Seung Joon, Ah Ra tidak
menjawab dan tidak mengubah ekspresinya.
Seung Joon maju satu langkah mendekat pada Ah Ra. “Kami akan berlibur ke Jeju. Hampir satu minggu kita tidak
jalan-jalan bersama, aku terlalu sibuk, jadi ikutlah denganku, kita bisa
menghabiskan akhir pekan bersama.” Pinta Seung Joon dengan menunjukan senyun yang penuh arti.
“Hanya aku?” Tanya Ah Ra.
“Dae Goo juga pasti mengajak sesorang.”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Eun Jung.” Jawab Ah Ra.
“Ah, itu.” Seung Joon tampak berfikir sejenak. “Tapi kami
hanya diijinkan mengajak satu orang, itupun dengan usaha yang luar biasa.”
“Kenapa aku? Kenapa tidak Eun Jung? Kalian lebih butuh waktu untuk bersama.” Tanya Ah Ra heran.
“Kenapa bukan kau? Kenapa harus Eun Jung? Kami akan temukan waktu untuk kami sendiri dan ini adalah waktu untuk
kita.” Katanya bersikeras.
Ah Ra mendengus. “Hahh.. Terserahlah.”
“Aku hanya ingin kau ikut.” Kata Seung Joon terdengar bersalah.
“Akan aku pikirkan.”
“Thiinnn.. thiinnn.. thiinnn..” Eun Jung membunyikan klakson mobil.
Seung Joon berteriak
untuk menjawabnya lalu kembali pada Ah Ra. “Kau benar-benar tidak ingin ku antar?”
“Tidak, terima kasih.”
“Aku tahu kau tidak akan berubah
pikiran. Aku pergi dulu, chagiya.”
Seung Joon mencium kening Ah Ra dan berlalu pergi. “Kenapa dia melakukan hal seperti
itu, bagaimana kalau ada orang yang melihat perbuatannya yang seperti itu?”
Gumam Ah Ra.
To be continue...
0 komentar:
Posting Komentar